Kethek Ogleng
Oleh: BP
Seberkas sinar
keemasan mentari pagi menyinsing dari ufuk timur menembus celah rerimbunan pepohonan kelapa di pekarangan rumah warga.
Terpaan angin membelai dedaunan
nyiur dan bambu menimbulkan suara kemerisik mendesir-desir. Udara pagi yang sejuk Desa Kemusuk
mengisyaratkan kepada penduduk desa untuk melepas diri dari mimpi indahnya. Kemusuk, orang mengenalnya
sebagai desa dengan pertaniannya yang subur. Hasil bumi seperti sayur mayur,
buah-buahan, dan padi menthik
wanginya terkenal sampai kemana-mana. Namun, kemakmuran semacam itu tidak
dirasakan oleh Darno. Ia hidup dalam belenggu kemiskinan. Ia hanya bekerja
sebagai penggembala kambing milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Ketika
kambing itu beranak, maka ia baru mendapatkan bagiannya. Apabila kambing
beranak dua, maka ia mendapat bagiannya seekor. Kini ia menggembalakan
kambing-kambing milik Pak Bayan. Pagi
itu, ia keluar dari kandang kambing di belakang rumahnya disusul tujuh ekor
kambing Jawa. Tampaknya ia mau menggembala kambing ke jalan persawahan dekat
dengan kebun tebu.
“Heyo... Heyo... “,gertak Darno pada kambing-kambingnya itu supaya
segera berjalan menuju jalanan di persawahan.
Darno memang sering menggembalakan kambing ke jalanan di pematang sawah
pinggir desa. Di situ memang banyak tumbuh rumput-rumput yang tumbuh subur. Ia
menggembala mulai dari pagi hari hingga sore menjelang petang. Karena
keuletannya, kini kambing-kambing yang ia pelihara semakin gemuk.
“Makan yang banyak ya wedhus,
supaya gemuk dan laku banyak saat Idul Adha nanti”, oceh Darno kepada
kambing-kambing yang mulai menyerenggut rumput.
Hari menjelang siang, namun mendung tebal nampak membubung rendah. Tak
berapa lama hujan deras disusul petir bersahut-sahutan. Darno berteduh di gubuk
pinggir sawah dan membiarkan kambing-kambingnya terus makan. Kambing Jawa
memang tahan akan cuaca dingin dan basah. Akan tetapi Darno justru lama-lama
mulai kedinginan dan kebasahan karena gubuk tak mampu melindunginya dari hujan
deras yang airnya seperti ditumpahruahkan ke bumi itu. Badannya menggigil
disusul giginya bergeretakan. Sore hari hujan reda, kambing sudah kenyang, dan
Darno mulai menggiringnya ke kandang. Sampai di rumah Darno segera mandi untuk
menyegarkan tubunhya.
“Kalau sudah mendung mau hujan mbok
ya cepet pulang tho pak. Nanti
kalau kenapa-napa gimana?” gumam istrinya, Sayem.
“Tidak ngeri ya denger-denger warga kampung sebelah meninggal kena
geledek,” timpalnya.
“Itu sudah takdir Tuhan tho bune.
Kalau kambingnya belum kenyang ya harus gimana lagi. Nanti dimarahin Pak Bayan,
kan malah repot tho. Kalau Pak Bayan
sudah tidak mempercayakan kambingnya pada kita lagi, gimana? Kita mau makan apa
coba?” tukas Darno ketus.
Darno hidup di gubuk bambu sederhana ditemani istri dan seorang anak
yang masih kelas lima SD. Anaknya bernama Andri, memang agak dimanja dan suka
bermain saja, jarang mau membantunya menggembalakan kambing.
“Ndri, gimana tadi sekolahnya? Dapat nilai berapa?” selidik Darno sambil
menyeruput teh buatan istrinya.
“Eh... tidak kok pak, itu..., soalnya sulit, he...he...he...” jawab
Andri gelagapan.
“Nah pasti dapat nilai jelek lagi kan? Makanya jangan cuma main aja,
belajar giat biar dapat nilai bagus dan nanti kalau udah gedhe bisa jadi
insinyur,” sahut Sayem seraya merangkul anaknya itu.
Akhir-akhir ini Andri memang sering dapat nilai jelek karena jarang
belajar. Ia juga jarang mendapat perhatian orang tuanya karena emaknya sering
menjadi buruh cuci di rumah tetangganya dan bapaknya menggembala kambing. Bisa
kumpul bersama ya cuma pada malam hari. Siang hari Andri bermain, entah bermain
kelereng maupun layang-layang.
***
Sudah dua hari Darno tidak bisa angon
menggembalakan kambing. Tubuhnya lemas tergolek lemah di amben reyot miliknya. Tubuhnya diserang demam dan sakit kepala.
Setelah dikerik oleh istrinya, badannya mulai agak mendingan. Namun, istrinya
berulangkali mengajaknya berobat.
“Mbok ya dibawa ke Pak Mantri saja pak, biar disuntik dan cepat sembuh.”
“Duit dari mana tho bune...
Kan kamu sudah seminggu ini tidak dapat serabutan sama sekali.”
Istrinya mulai kebingungan mendengar perkataan suaminya itu. Tiba-tiba
terlintas ide untuk menjual kambing bagiannya.
“Bagaimana pak kalau kambing bagian kita dijual saja? Buat berobat dan
menyunatkan Andri. Kasihan Andri diejek terus sama teman-temannya.”
“Wah itu satu-satunya celengan keluarga
kita. Masa ya harus dipecah tho. Nanti kalau ada butuh duit yang lebih banyak
gimana?”
“Ya. Itu urusan gampang pak. Tinggal utang sama Pak Bayan. Beres tho?”
“Yowis kalau begitu. Aku sudah tidak tega sama Andri. Besok aku tak ke
pasar hewan. Mumpung lagi hari pasaran.”
Pagi-pagi betul Darno menggelandang kambing bagiannya, dua ekor, ke
pasar hewan tak jauh dari rumahnya. Kambingnya cepat laku karena memang
gemuk-gemuk. Namun saat mau pulang, ia ditawari oleh seorang pedagang untuk
membeli monyet, alias kethek.
“Ayo pak dibeli ketheknya.
Mumpung lagi promo. Diskon 50%,” celoteh pedagang itu.
“Buat apa tho beli kethek?
Kerjanya paling cuma makan saja,” sahut Darno.
“Lho... jangan salah pak. Kethek ini
bisa buat kerja. Kethek ini sudah
saya latih buat manjat pohon kelapa dan memetik buahnya. Sekali naik gak sampai
lima menit sudah rontok buahnya,” jawab pedagang itu meyakinkan.
“Wah apa bener tho pak? Kalau itu berapaan?” Darno mulai tertarik.
“Murah pak. Khusus buat bapak saya kasih diskon 55 %. Jadinya 600 ribu.
Gimana? Ayo mumpung lagi banting harga pak,” tawar pedagang itu.
“Bener nih pak? Saya ambil deh kalau gitu. Ini uangnya. Dihitung dulu,” Darno
menyodorkan uang tanpa pandang bulu.
“Wah, senang berbisnis dengan Anda, hehehe...,” ucap pedagang itu sambil
terkekeh.
***
Dalam perjalanan pulang, Darno sudah membayangkan keuntungan yang bakal
ia raup. Ia pun sudah merencanakan sesuatu yang besar. Mengembalikan
kambing-kambing milik Pak Bayan, lalu ia menjadi pawang kethek yang ahli dalam memetik buah kelapa. Diiringi pepohonan
sengon di kanan dan kirinya, Darno tersenyum-senyum. Matanya berbinar-binar
seolah sakitnya sudah benar-benar sembuh seketika. Sampai di rumah ia langsung
dicecar oleh istrinya bak penyidik yang sedang menyidik pencopet yang
tertangkap polisi.
“Uang hasil jual kambing malah dipakai untuk beli kethek kaya gini. Sampeyan apa sudah tidak waras tho pak.. pak...,” sesal Sayem.
“Hush. Aku ini masih waras tho bu. Gini saja. Sekarang bune
mengembalikan kambing-kambing milik Pak Bayan itu,” perintah Darno.
“Iki opo meneh tho pak... pak...
Terus mau kerja apa lagi kalau dikembalikan. Memelihara kethek tidak jelas itu? Ha?”
“Ini kethek bukan sembarang kethek lho bune. Ini bisa jadi mesin
duit, bisa metik satu pohon buah kelapa dalam waktu kurang dari lima menit.
Hebat tho...?”
“Ah masak pak. Aku tidak percaya, coba petikin satu buah yang tua, buat
nyayur lodeh,” pinta Sayem.
“Oke. Tak buktikan. Ayo Kethek
Ogleng, kita beraksi,” ucap Darno sambil menarik tali pengikat monyet itu.
Dengan tangkas dan cekatan monyet itu langsung memetik buah kelapa dalam
waktu lima detik. Sayem pun terkagum-kagum. Tanpa komando lagi, ia
mengembalikan kambing-kambing milik Pak Bayan. Dalam perjalanannya, ia
mengumumkan kepada warga yang berpapasan dengannya bahwa suaminya kini mempunyai
monyet yang ahli memetik buah kelapa. Dalam jangka waktu yang cepat, berita itu
segera menyebar sampai ke seluruh pelosok Desa Kemusuk. Darno kini terkenal menjadi
pawang monyet pemetik buah kelapa. Uang yang terkumpul mulai banyak, maklum, di
Desa Kemusuk banyak pohon kelapa yang buahnya jarang diambil. Pohonnya yang
menjulang tinggi membuat warga malas memanjatnya, takut kalau-kalau jatuh.
Takut mendengar pemanjat pohon kelapa yang jatuh. Itulah yang mengakibatkan
Desa Kemusuk berhenti menjadi penghasil buah kelapa. Kini desa itu sudah
bergerak kembali di bisnis kelapa. Pelopornya tentu Darno dengan Kethek Oglengnya yang ahli dalam hal
memetik buah kelapa itu. Desa Kemusuk
mulai bergeliat menjadi penghasil buah kelapa unggulan. Baik buah yang sudah tua
maupun yang masih muda alias degan.
“Bener tho omongku bune. Tidak rugi memelihara kethek, kita malah untung banyak kan? Hahaha,” Darno tertawa lepas.
“Bener pak. Kamu memang hebat. Suami idaman,” ucap Sayem dengan bangga.
***
Suatu hari yang cerah dengan angin semilir, Andri bermain layang-layang
di pinggir jalan desa. Desa Kemusuk baru saja mendapat aliran listrik dari
pemerintah. Tiang-tiang listrik pun menjulang sepanjang jalanan desa. Saat
bermain layang-layang, Andri terlalu ceroboh. Layang-layangnya yang mahal baru
dibelinya ketika liburan ke pantai kini tersangkut di tiang listrik. Andri
panik dan merengek-rengek kepada bapaknya untuk mengambil layang-layangnya yang
tersangkut.
“Ayo pak ambilkan layang-layangku. Pakai Kethek Ogleng saja biar cepat diambil dan semakin cepat bisa main
layang-layang lagi,” rengek Andri.
“Kecanthol dimana tho Ndri layanganne? Hem... Kalau main
itu mbok ya ati-ati,” gumam Darno.
“Di situ pak. Di tiang listrik dekat rumahnya Pak Bayan. Ayo pak
cepetan, Andri sudah ketinggalan main layang-layangnya,”
“Yowis. Aku tak langsung kesana, kamu di rumah saja,” Darno mulai
bergegas menuju depan rumah Pak Bayan diiringi Kethek Oglengnya.
Siang hari yang panas. Darno berjalan tergesa-gesa akan mengambil
layang-layang anaknya yang tersangkut. Kethek
Oglengnya kini dirantai dengan rantai besi. Ia lupa itu. Benar-benar lupa.
“Owalah ini tho layang-layange. Jan bocah sembrono tenan,” sesal Darno pada anaknya.
“Ayo Ogleng, panjat tiang listrik ini dan ambil layang-layangnya,”
perintah Darno pada monyetnya.
Monyet itu seolah langsung mengerti perkataan Darno. Langsung memanjat
tiang listrik dan menggapai-gapai meraih layang-layang itu. Layang-layang
berhasil diambil, tapi ketika hendak turun... apes. Malang bukan kepalang.
Nasib tak dapat ditolak. Kaki Kethek
Ogleng tersangkut dan tersetrum kabel listrik yang menjuntai ke rumah Pak
Bayan. Rantai besi pengikat monyet itu mengalirkan listrik tegangan tinggi ke
tubuh Darno. Listrik satu kampung menjadi padam, warga mulai mengeluh. Mereka
tidak tahu kalau Darno gosong tersetrum listrik. Tapi ia masih hidup. Pak Bayan
yang mengetahui kejadian itu langsung membawa Darno yang sekarat itu ke rumah
sakit menggunakan mobilnya. Sayem dan Andri harap-harap cemas. Sayem mulai
menitikkan air mata. Deraian air mata jatuh membasahi lantai keramik ruang
tunggu pasien. Ia berdo’a kepada Tuhan supaya suaminya tidak kenapa-napa.
Supaya cepat sembuh dan bisa bekerja seperti sediakala. Dokter keluar dari
ruangan tempat Darno dirawat. Semua menanti dengan perasaan cemas dan was-was.
“Bagaimana dok keadaan suami saya?” tanya Sayem dengan suara hampir
tidak terdengar.
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin bu. Tapi Tuhan mungkin lebih
sayang pada Pak Darno,” jawab Dokter itu dengan berwibawa.
“Maksud Dokter?” tanya Sayem penasaran, seolah tak percaya.
“Pak Darno tak terselamatkan, luka bakar di tubuhnya 70 %. Tuhan
berkehendak lain,” terang Dokter.
Pecah tangis terhambur di ruang tunggu pasien. Semua mata tertuju pada
Sayem yang menangis meraung-raung sampai pingsan.
Mobil jenazah disambut dengan isak tangis dan air mata seluruh warga
Desa Kemusuk. Setelah di sholatkan, jenazah Darno langsung dikebumikan hari itu
juga. Setelah raga itu berada di tempat yang kini sepi. Desa Kemusuk kehilangan
orang yang berjasa baginya. Ia kehilangan seorang yang telah membuatnya
terkenal akan hasil buminya, tepatnya buah kelapa. Hari-hari berlangsung
seperti biasa. Sayem menjadi buruh cuci panggilan. Andri kini menjadi anak yang
pemurung. Selalu merasa bersalah dan kini mulai menuju ke jalan yang benar. Ia
menjadi rajin belajar, dengan harapan kelak bisa membahagiakan orang tuanya.
Menjadi seorang insinyur elektronika.
Komentar
Posting Komentar