Kumpulan Karya Gemerlap Bahasa dan Sastra Himaprodi PBSI Untidar

 Karya: Cerpen

Mengantarkan Mama Pulang

Karya: Iis Aisyah

 Sinar matahari menyengat hingga membuat kulitku yang berwarna sawo matang seolah berkilauan ditempanya. Panasnya begitu dasyat hingga membuat keringat didahi meluncur sampai leher. „Huff‟ aku mengghela nafas panjang, berusaha untuk mengembalikan semangat. Sepenuhnya aku sadar bahwa hidup ini perlu perjuangan. Tanpa perjuangan, mungkin hidup hanya tentang omong kosong semata yang kelak tidak bisa dibanggakan pada anak cucu nanti. Perjuanganku sendiri masih panjang, ada kewajiban yang harus dibayar tuntas. Jika dibiarkan, kewajiban tersebut akan tumbuh besar hingga bungaya dapat mencekikku.

 “Migel, korang istirahat dulu” seru Walilik- pemilik kebun, dari gubug kecil yang atapnya terbuat dari jerami.

 “Iya” bekerja selama delapan jam tanpa jeda istirahat jelas sangat melelahkan. Semakin lelah ketika mengingat pekerjaanku tidak pernah diberi upah, atau lebih tepatnya upah hanya numpang lewat saja ditanganku, kemudian harus segera disetorkan pada Datuk Batong untuk melunasi hutang. Selama delapan jam bekerja aku hanya mendapat nasi bungkus dengan tempe dan sambal seadanya. Itupun atas pemberian Walilik yang berbaik hati padaku. Terkadang, dibeberapa kesempatan ketika hasil panen di kebun Walilik gagal, aku tidak mendapatkan apapun. Terpaksa aku harus mencari teripang dan menjualnya ke pasar kelontong di kota. Nasib pilu ini aku jalani semata-mata hanya untuk membayar tuntas uang yang kupinjam lima bulan lalu. Tapi tak apa. Biarkan aku sengsara asalkan kisahku berakhir bahagia. Setidaknya meski sengsara, aku bisa bernafas lega karena telah menuntaskan tugas anak pada orang tua.   

 Ini tentang aku dan kisah pilu di masa lalu yang membuatku berhenti dari bangku sekolah. Bukan karena tidak ada guru yang mau mengajar di sekolahku, bukan juga karena tidak ada uang saku, ini tentang keadaan yang memaksaku bekerja di kebun coklat milik Walilik. Keadaanlah yang membuatku  menjadi tua diumur yang masih muda. Dan keadaan juga yang membuatku harus banting tulang, berjuang untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Entah sapampai kapan? Kuharap perjuanganku yang akan membayar tuntas kisah ini.

 Simak kisahnya:

*** 

 Ketika langit Makale1 menunjukkan gradasi antara warna hitam dan oranye yang datang dari sorot matahari tenggelam, tepat waktu itulah aku pulang bekerja. Dengan langkah kaki yang panjang, aku segera pulang ke Tongkonan2. Tidak seperti Tongkonan milik keluarga lain yang ramai dipenuhi anggota dari nenek hingga cucuk. Tongkonanku berbeda. Penghuninya hanya dua orang yang hidup di dunia berbeda- antara dunia orang mati dengan orang hidup. Atau lebih tepatnya di Tongkonanku ada kematian yang pura-pura dihidupkan, seolah-olah nyata demi menutupi keadaan yang tidak selaras dengan harapan yang ada. 

 “Sa sudah pulang” meskipun tahu bahwa kepulanganku sampai kapapnpun tidak akan pernah mendapat sambutan, tapi aku tidak berhenti mencoba menghidupkan suasana Tongkonan agar tidak terkesan mati, walaupun penghuninya sudah mati tiga tahun silam.

 Menjalani hidup tanpa timbal bailik, melakukan peran sendirian tanpa respond bukanlah hal yang mudah. Setiap hari aku harus berbincang dengan mayat Mama yang diawetkan. Berusaha menjalin komunikasi yang entah arah pembicaraannya hanya berlabuh pada kesedihan yang mendalam. Di pagi hari setelah memandikannya seperti biasa, kududukan mayat Mama pada kursi kayu anyam di pojok ruangan. Ia terlihat tetap cantik meskipun tidak ada lagi darah yang mengalir dalam tubuhnya. Kemudian selepas pulang bekerja, ku bantu mayat Mama pergi tidur di ranjang. Dengan kesadaran yang penuh, aku tahu Mama telah mati, tapi sebisa mungkin aku harus menganggapnya tetap hidup karena tanggungan adat yang belum selesai. Kelak aku janji atas nama perjuangan, akan memenuhi tuntutan adat  dan menguburkan Mama dengan layak. 

 “Tunggu sa punya uang terkumpul Ma, setelah itu ko bisa tenang”3 aku bermonolog di hadapan mayatnya.

 Kamipun tidur bersama, dua orang dari dunia yang berbeda tidur diatas ranjang yang sama. Tidak sama sekali terbesit rasa takut dalam dadaku, karena bagiku ia adalah mamaku. Dalam versi mati atau hidup, dia tetap mamaku yang tiga belas tahun silam melahirkanku dengan taruhan nyawa. Justru detik-detik menjelang tidur adalah waktu favoritku. Malam yang panjang membuatku bisa memandanginya lebih lama sembari mengingat waktu yang kami lalui bersama dulu, ketika Mama hidup. Saat itu ingatanku akan jatuh pada mesin

                                                             1 Makale adalah ibu kota Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Indonesia. 2 Rumah adat orang Toraja, yang merupakan tempat tinggal dan kekuasaan adat . 3 “Tunggu uang saya terkumpul Ma, setelah itu kau bisa tenang”

waktu, mengenang kisah ketika aku diajaknya pergi ke pasar kelontong di kabupaten. Atau ketika ia mengajariku sembahyang. Rasanya begitu indah bukan?

 Keindahan masa-masa manis itu sirna seketika Bapa meninggal diujung bulan Juli. Ia yang pamit pergi mencari rusa di pedalaman hutan Sulawesi akhirnya tidak pernah pulang. Banyak versi cerita mengenai meninggalnya Bapa, ada yang bilang bahwa ia mati karena dikeroyok ajak-ajak yang lapar. Sebagian lagi percaya bahwa Bapa bawa oleh Batitong4 yang suka mengganggu manusia. Jasad Bapa tidak pernah ditemukan sampai sekarang. Kepala Suku dan beberapa warga Makale berusaha mencarinya, tapi hanya kekosongan yang didapat. Sebab Bapa seolah moksa- menyatu dengan alam dan hanyut kembali ke asal manusia. Beruntung matinya Bapa tanpa sebab, tidak mewajibkan kami sebagai keluarga  melakukan upacara kematian untuknya. 

 Namun disis lain, menghilangnya Bapak menjadi titik paling krusial dikehidupan keluargaku. Karena semenjak itu aku memutuskan berhenti sekolah. Dan mulai bekerja di kebun coklat milik Walilik untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Sementara Mama yang tidak bisa menerima keadaan akhirnya gila. Setiap malam ia merintihkan nama Bapak- mengganggu tidurku. Mama seringkali berbincang sendirian, seolah suaminya ada di sisinya.

 Aku berusaha memanggil orang-orang pintar untuk menyembuhkannya dari fantasi yang diciptakannya sendiri. Bahkan Tolo- dukun sakit se penjuru Makale yang konon mampu membangkitkan arwah-arwah leluhur, atau bahkan mampu menjinakkan siluman buaya putih hanya dengan sekali kedipupun ternyata tidak mampu membuatnya waras. Hingga akhirnya, Mama memilih mengakhiri hidup. Ia menyusul cinta sejatinya- Bapa. Baginya mati adalah pilihan yang membuatnya lebih bahagia. Karena jika sebagian jiwanya mati, maka ia juga akan ikut mati. 

 Waktu itu aku menemukannya tanpa nafas, terbujur kaku sembari memeluk foto Bapa. Dan itulah yang terjadi, Mama mati dan sekarang mayatnya sedang di sampingku, tidur bersama. Sebelum aku memenuhi adat, melakukan upacara kematian Rambu Solo5, mayat Mama yang diawetkan akan tetap tidur di sampingku. Karena kewajibanku adalah menjaganya sebelum resmi dipulangkan pada Tuhan. 

                                                             4 Roh jahat yang dipercaya masyarakat Toraja 5 Upacara pemakaman secara adat toraja yang mewajibkan keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.

 “Selamat malam Ma” ucapku lagi-lagi tidak dijawabnya. Baguslah, karena mungkin jika dijawab cerita ini akan berubah menjadi horor.

 Sebelum mataku sempurna terpejam, terdengar suara pintu yang diketuk, „Dog, Dog, Dog‟ suaranya beradu hingga membuat berisik. Aku mengeluh, mengumpat dalam hati, siapa pula yang bertamu malam-malam. Tidak sopan.

 Dengan membawa lampu corong minyak yang berpendar-pendar, aku turun dari ranjang untuk memastikan tamu yang datang. Jantungku berdegup kencang, kakiku sedikit gemetaran, takut dari balik pintu itu ada Batitong yang mengancam. Membayangkan wajahnya yang berlumur darah saja sudah membuat bulu kudukku berdiri. Tapi, fikiran buruk itu seketika sirna. „Kretek‟ ternyata Datuk Batong, sykurlah dengan begitu aku bisa bernafas lega. Lelaki yang dibenci sekaligus dibutuhan seluruh warga Makale itu tidak datang sendirian, ia juga bersama Kepala Suku Toraja di Makale.

 “Tak sopan membiarkan tamu di luar, to?” pintanya mengode halus dan langsung ku jawab dengan anggukan.

 Tanpa menyediakan hidangan untuk tamu- karena aku tidak punya apapun untuk disediakan, kami mengobrol serius di ruang tamu. Datuk Batong mengutarakan maksudnya tanpa basi-basi lagi, “sa punya uang untuk korang satu milyar” matanya menatap tajam kearahku hingga seperti ingin lepas dari tempatnya.

 Hah? Aku terkejut.

 “Dalam catatan sejarah Makale, tidak ada orang  yang menyimpan mayat selama ini, kecuali ko Migel” Ketua Suku ikut meimpali. “Ini hanya saran dari orang tua yang telah hidup 83 tahun lamanya dan sekaligus orang yang l5 tahun telah memimpin Suku Toraja di  Makale. Percayalah, Mama ko tidak betah lama-lama berada di sini, ia ingin pulang bersama orang mati lainnya. Korang hanya akan jadi anak durhaka jika tidak segera melakukan upacara kematian Rambu Solo ko punya Mama” jelasnya. “Migel, terimalah pinjaman uang dari Datuk Batong sebelum mayat kopu mance6 membusuk” lanjutnya denga nada suara yang halus, mencerminkan sekali bahwa ia pemimpin yang bijaksana.

 Mendengar penjelasan kedua tamu itu, aku hanya bisa diam. Banyak hal yang tersirat dalam kepalaku, menimbang-nimbang keputusan yang harus segera aku ambil demi

                                                             6 Mamamu atau Mama kamu

kepentinganku dan Mama. Aku menggigit bibir, bingung, jelas untuk anak usia tiga belas tahun sepertiku mengambil kepuutusan sebesar ini bukanlah hal yang mudah. Satu sisi, aku tidak yakin bisa menerima tawaran Datuk Batong, lebih tepatnya aku takut kelak tidak bisa mengembalikan uang pinjamannya. Namun, disisi lain mayat mamaku terus menunggu untuk dirayakan upacara Rambu Solo. Jika bukan aku yang mengurusi mayat Mama, lalu siapa lagi? Selain Bapa yang sudah mati, hanya aku satu-satunya keluarga yang tersisa. Akulah yang bertanggung jawab penuh atas hidup yang kukendalikan sendiri. 

 „Huff‟ aku menghela nafas, mencoba berfikir cepat dan tepat. Kepalaku bekerja keras memikirkan banyak kemungkinan yang akan terjadi, terutama tentang Mama.  Ku pikir ada benarnya juga, pengawet kimia yang diberikan padanya tidak akan bertahan bertahun-tahun kedepan. Ada masanya nanti tubuh itu akan membusuk termakan usia. Aku harus segera menguburkannya. Keputusan diambil.

 “sa setuju” jawabku tertunduk, karena masih sedikit ragu. Tapi apapun yang terjadi, aku berjanji akan mempertanggung jawabkan keputusanku.

 “Setiap mendapat upah dari kebun coklat, korang harus membayar dengan bunga 15%. Bunga itu akan terus naik jika bayarannya mandeg” Datuk Batong menjelaskan syarat aturan main. Baginya bisnis adalah bisnis, tidak perduli yang ia jerat adalah anak usia tiga belas tahun yang hanya bisa bekerja di kebun coklat dengan upah seadanya. Datuk Batong adalah lintah darat yang kejam. Itulah mengapa alasan warga Makale membencinya, tapi sekaligus juga membutuhkannya. Setiap  ada kebutuhan yang mendesak dan harus segera terpenuhi, Datuk Batong adalah jawaban instan yang mampu membantu warga Makale. Begitupula ketika ia membantuku: dengan dalih meminjamkan uang untuk upacara Rambu Solo Mama, agar segera dikebumikan. Di balik itu, Datuk Batong hanya sedang menjalankan bisnisnyaa.

***

 Setelah perbincangan berat malam itu, pagi harinya Kepala Suku memerintahkan beberapa pemuda untuk membeli kebutuhan Rambu Solo, seperti 8 kerbau dan 40 babi. Serta beberapa bumbu masak, kayu-kayu untuk membuat peti mati dan banyak lainnya yang harus disiapkan hingga membuat warga Makale sibuk saat itu. Hanya dengan satu perintah dari atasan, seluruh warga siap sedia bekerja sama menyusun kebutuhan untuk Rambu Solo yang

akan diadakan tiga hari lagi. Harus diakui sifat kekeluargaan dan gotong royong suku toraja di Makale memang patut diacungi jempol. 

 Waktu-waktu itu adalah waktu yang juga sibuk bagiku. Karena selain mengurusi Rambu Solo Mama, aku juga harus bekerja ekstra di kebun coklat untuk bisa memenuhi target pembayaran. Jika dulu aku bekerja delapan jam, sekarang kinerjaku bertambah jadi sepuluh jam. Melehkan bukan? tapi itulah hidup, ada tanggungan yang harus aku bayar tuntas. Terlepas dari jerat bunga yang harus ku selsaikan, aku bersyukur akhirnya akan segera memenuhi kewajiban seorang anak, yaitu melakukan upacara kematian untuk Mama.

 “Korang punya babi dapat di mana, to? kurus sekali seperti ko” keluh salah satu pemuda yang ditugaskna dibagian penyembelihan, “cari lagi!” perintahnya yang langsung dituruti.

 Persiapan Rambu Solo untuk Mama semakin matang. Saat itu Makale telah dipenuhi suara kerbau yang mendengus dan puluhan babi yang menguik, membuat gaduh setempat. Persiapan di hari berikutnya, peti mati untuk Mama telah jadi. Terbuat dari kayu mahoni yang diukir langsung oleh Pong Buri- anak ke sembilan dari Ketua Suku. Ia membuat peti mati yang begitu indah, setiap sudutnya detail dipandang  mata. Bagian atap peti mati dibuat megah dengan bentuk seperti tanduk banteng yang sisi kanan dan kirinya meruncing keatas. Sementara bagian dalam peti dilapisi oleh kain berwarna putih yang mengisyaratkan kesucian. Diharapkan orang yang bersemayam di dalam peti akan selalu suci. Aku yakin, Mama pasti suka dengan tempat barunya. 

 Dihari keempat, setelah persiapan telah selsai sempurna, barulah upacara Rambu Solo resmi dilaksanakan sesudah pukul 12- ketika matahari mulai bergerak turun. Dihari itu aku bangun pagi-pagi buta karena mendengar suara Ma‟lambuk- lesung yang ditumbuk berirama oleh beberapa wanita di Makale, sebagai pertanda acara resmi dilaksanakan. Aku terhenyak ketika keluar kamar dan mendapati Tongkonanku yang ramai, sesak dipenuhi orang-orang yang mulai berkumpul sembari menyantap kudapan yang dibuat bersama sebelumnya. Suara bising beradu antara obrolan satu dengan lainnya pecah memenuhi Tongkonanku. Sementara diluar, warga dan pelancong yang penasaran mengetahui budaya Suku Toraja mulai berkumpul. 

 Dengan memakai pakaian dominan hitam- sebagai tanda berkabung, kami semua merayakan upacara Rambu Solo dengan sederhana. Sebagi anak yang lahir dari status sosial

yang rendah- Tana‟ Karungrung, aku hanya bisa mengadakan Rambu Solo jenis Dipasangbongi7 yang tidak semegah milik bangaswan kelas atas. Rambu Solo untuk mamaku hanya dirayakan selama tiga hari tiga malam. Meski begitu, biaya yang dihabiskan begitu besar, mungkin setara seperti membeli vila mewah di Puncak Bogor. Mahalnya biaya Rambu Solo ini dikarenakan banyak jamuan yang harus disajikan, seperti ribuan botol arak serta kewajiban menyembelih kerbau dan ribuan babi untuk dijadikan masakan yang nantinya  akan dimakan bersama, serta keperluan lainnya. Untungnya aku tidak perlu membayar warga yang turut membantu jalannya acara. Para warga Makale bekerja dengan suka rela atas nama darah dan keturunan suku yang saman. 

 “Upacara Rambu Solo selalu dipenuhi kebahagiaan, tapi bukan berarti kita bahagia karena ada yang mati. Bahagia ini harus terus dilatih agar terbiasa ketika ditinggal keluarga yang dicintai” ujar Kepala Suku memberikan pidato singkat ditenga-tengah riuhnya makan bersama.

 Dan terakhir, acara utama sekaligus penutupan Rambu Solo dilakukan dengan khikmat. Ketika matahari mulai turun pada ufuk barat, ketika angin sore menyapa sembari menerbangkan rambut dengan lembut, aku dibantu warga Makale sibuk mengurusi peti mati yang beratnya hampir mencapai lima puluh kilogram.

 “Masukkan mayatnya!” teriak pemuda dari puncak atas peti mati.

 Persisi perintah itu didengungkan keras, kami memboyong mayat Mama yang sebelumnya sudah didandani rapih, menggunakan bedak dan pakaian terbaik. Sebelum dimaksukkaan kedalam peti mati, aku sempat menciumi Mamak. Bibirku beradu dengan keningnya yang terasa dingin. Seketika itu air mataku pecah, menetes begitu deras membasahi pipi sampai juga membuat riasan Mama sedikit rusak. Ku peluk tubuhnya, merasakan sentuhan terakhir dari seorang Ibu. Lalu kucium lagi, kali ini lebih lama bibirku mendarat, sampai rasanya tidak ingin lepas. Dadaku membuncah, berat melepaskannya pergi. Tapi, apa daya? Dunia kita telah berbeda. Sebagai tanda penghormatan, ku letakkan foto keluarga kami: Bapa, Mama dan aku tersenyum memandang kamera. Itu hanya sekedar selembar foto yang tak lagi berarti, karena kenyataannya semua telah pergi meninggalkanku seorang diri.

 Selamat tinggal Mama.

                                                             7 Upacara kematian (Rambu Solo) untuk rakyat biasa/ rakyat merdeka

 Peti mati ditutup rapat. Kemudian setelah Ketua Adat melakukan beberapa ritual singkat, acara dilanjutkan dengan mengarak peti mati oleh seluruh warga Makale untuk menuju tebing sebelah barat desa. Pengarakan ini bertujuan agar mayat segera menghadap pada Tuhannya. Para lelaki bertugas untuk memapah peti, sementara perempuan dibagian belakang mengiringi seperti ekor yang akan selalu menemani tubuh pergi. Dibagian depan terlihat Kepala Suku membuka jalan dan disampingnya ada Datuk Batong- sebagai penyokong dana upacara ini. Lintah darat itu tersenyum kearahku. Entahlah aku tidak begitu menghiraukannya karena hatiku sedang dalam dilema mengiringi Mama pergi. 

 Hanya membutuhkan dua puluh lima menit kami akhirnya sampai di tebing sebelah barat- tempat jia-jiawa orang mati akan diistirahatkan. Di lubang kecil itu, peti Mama dimasukkan. Saat itu kami mendunduk sembari mengucap doa sesuai kepercaayan Tuhan kami. Dan setelahnya selsai. Tugasku melakukan upacara Rambu Solo untuk Mama tuntas sudah, tidak ada lagi tanggungan adat dari anak untuk orang tuanya yang harus aku fikirkan. Resmi sudah aku dianggap menjadi anak yang mengabdi kepada orang tua. Dan resmi juga jiwa Mama tenang di alam baka, menyusul Bapa. Hari itu, aku bisa tersenyum lega telah berhasil menghantarkan Mama pada peristirahatan terakhirnya. Namun, tugasku belum sempurna tuntas, karena aku harus membayar harga mahal uang yang dipinjamkan Datuk Batong.

 “Sa akan membayar tuntas dengan perjuangan” batinku dalam hati terdalam. 

 Aku bukan manusia dusta yang hanya sebatas berani melakukan. Aku adalah pejuang dengan segenap kemampuan yang kumiliki akan membayar apa yang telah menjadi kewajiban. Biarpun aku harus mengabdi, menjadi pekerja selama sisa hidupku, tidak apa. Biarkan aku yang berjuang, asalkan Mamak tenang- bersemayam damai di dunianya. 

 Itulah cerita piluku, tentang keadaan yang memaksa aku banting tulang diusia yang muda. 

 “Migel, istirahat dulu.” untuk kedua kalinya pemilik kebun berseru dari gubuk kecil yang atapnya terbuat dari jerami.

 Baik, aku akan rehat. 

-Selesai-

 


Komentar