Kumpulan Karya Gemerlap Bahasa dan Sastra Himaprodi PBSI Untidar

Karya: Cerpen


 Benda Ajaib

Oleh: Aina Mabrukah

 

Pagi itu, hujan deras masih turun di sekitar lereng Gunung Merbabu. Sejak semalam, hujan memang tak kunjung reda. Udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Angin pun ikut berhembus kencang. Jemuran Rohmat yang belum diangkat berkobar-kobar semaunya. Terlalu sibuk mencari uang dan rumput membuatnya lupa mengangkat jemuran. Semalam, dua malam, sampai tetangga lain mengingatkan, barulah jemuran itu diangkat. Halimah pun tak ambil pusing dengan nasib jemuran itu. Sudahlah ia jenuh mengingatkan anaknya untuk mengangkat jemuran. Pagi basah, siang kering, sore kering kerontang, dan malam justru kehujanan. Dalam keadaan hujan deras seperti ini, beruntunglah bagi kambing-kambing yang disayang majikannya hingga dibuatkan kandang di dalam rumah. Lain halnya dengan kambing milik Rohmat, terpaksa berselimut udara dingin semalaman.

Hujan deras yang melanda tak lantas membuat warga Desa Tunggal kembali menarik selimut. Mereka justru lebih bersemangat untuk berladang karena sudah dua bulan desanya kering kerontang tak ada hujan. Dalam derasnya hujan, tampak beberapa warga sudah pergi ke ujung desa. Di ujung desa mereka akan menumpang mobil untuk pergi ke Boyolali. Dalam rombongan itu, Rohmat adalah salah satunya. Ia dan grup rebananya memimpin rombongan warga yang hendak pergi ke ujung desa.

Rohmat ialah pemuda desa yang paling aktif ikut pengajian, kerja bakti, karang taruna, paguyuban tani walaupun tidak bertani, kadang juga membantu posyandu, dan segala kegiatan desa pastilah dia hadir. Setelah lulus SMA, ia memutuskan untuk berwirausaha jasa rebana dengan mengajak empat temannya, yaitu Jo, Akbar, Bagus, dan Irwan. Keempatnya juga sudah lulus SMA, tetapi umurnya tak sebanyak Rohmat. Kini usia Rohmat sudah menginjak waktu untuk berumah tangga. Halimah pun sampai mencarikan calon istri untuknya, tetapi semuanya ditolak. Apalah daya sang ibu, anaknya dibicarakan seluruh penjuru desa karena tak kunjung menikah. Halimah sudah pusing mikirin anaknya, sudah tak mau menikah. Anaknya lebih sering mengurus kambing dan rebana saja. Sampai-sampai jemurannya tak diangkat.

Beberapa hari yang lalu, Rohmat mendapat pesan singkat dari sahabat karibnya di SMA. Dia adalah Damar Samudra. Sebagai pegawai pengiriman barang di Balikpapan, sudah pasti dia memiliki banyak kenalan. Mulai dari ketua RT, ketua RW, kepala desa, perangkat desa, kepala kecamatan, sampai pegawai PDAM pun dia kenal. Damar inilah yang ikut membantu Rohmat menawarkan jasa rebana ke beberapa kenalannya. Melalui pesan yang dikirim, Damar mengabarkan bahwa grup rebana Rohmat diundang ke hajatan temannya. Dia adalah seorang pegawai pegadaian di Boyolali. Acara hajatan ini tentu spesial untuk Rohmat karena selama tiga bulan lamanya tak pernah rebana di luar desa. Rohmat tentu tak gentar menerjang hujan deras pagi ini demi mengepakkan sayap usahanya.

Grup rebana tampak mengenakan baju koko dan kopiah hitam. Tak lupa, mereka mengenakan jas hujan dan membungkus rebana agar tidak terkena air hujan. Di belakang grup rebana, terdapat rombongan pedagang sayur yang rata-rata adalah ibu-ibu. Mereka dengan susah payah menggendong keranjang berisi sayuran. Keranjang sayur yang penuh itu bahkan besarnya melebihi tubuh mereka. Kekuatan punggung mereka setara dengan tekad untuk memberi penghidupan yang layak bagi keluarganya. Terdengar riuh suara rombongan grup rebana dan ibu-ibu pedagang sayur yang bercakap-cakap di tengah hujan. Suara mereka pun harus lantang karena beradu dengan suara hujan. Tentu saja, topik pembicaraan mereka adalah kambing-kambing yang masih terlelap di kala majikannya sudah pergi mencari nafkah.

“Tak cari rumput buat makan kambing, Rohmat?” tanya Inah.

“Ada pekerjaan, Bu. Hajatan pegawai pegadaian di Boyolali,” jawab Rohmat.

Setibanya di Boyolali, anggota grup rebana turun dari mobil. Hujan yang sedari tadi mengguyur akhirnya berhenti. Jalanan Kota Boyolali hanya dipenuhi genangan air sisa hujan. Rohmat dan grup rebananya segera menumpang angkutan kota untuk pergi ke Perumahan Permai. Konon katanya, perumahan ini hanya bisa disewa orang-orang mumpuni, seperti pegawai pegadaian, pegawai PDAM, pegawai PLN, dan pegawai lain yang memiliki gaji tetap. Tak lama setelah menumpang angkutan kota, mereka tiba di depan Perumahan Permai. Perumahan tersebut dijaga oleh seorang satpam yang bertubuh kekar, berkumis lebat, dan memiliki senyum yang mengerikan.

“Pagi, Pak! Saya Rohmat, ini teman saya…”

“Langsung saja, Mas! Ada keperluan apa?” potong sang satpam.

“Saya mau mengisi hajatan Pak Dul,” jawab Rohmat.

“Silakan masuk saja!”

Tanpa berpikir panjang, Rohmat dan grup rebananya masuk ke Perumahan Permai. Tak jauh dari pintu masuk, tenda besar berwarna biru menyambut mereka. Dilengkapi pula dengan kursi-kursi tamu yang jumlahnya sangat banyak. Di depannya, terdapat panggung berukuran besar dengan dekorasi bunga kering berwarna ungu. Hajatan belum dimulai. Para tamu juga nampak belum hadir. Hanya ada beberapa tukang yang masih lalu-lalang memperbaiki dekorasi. Kursi panjang diletakkan di atas panggung untuk duduk orang yang punya hajat. Terdapat pula panggung mini di sebelah kanan panggung utama. Di panggung itulah, aksi rebana Rohmat dan keempat temannya akan dipertontonkan.

Di balik megahnya dekorasi panggung, ada sebuah benda yang menarik perhatian Rohmat. Benda itu diletakan beberapa meter di depan layar besar, bentuknya kotak, warnanya hitam, dan memancarkan cahaya. Cahaya dipantulkan ke arah layar sehingga terlihat gambar besar bertuliskan welcome.  Sungguh takjub Rohmat melihat benda yang mirip proyektor layar tancap, tetapi bentuknya lebih kecil. Selama ini, benda paling menakjubkan yang pernah ia lihat di Desa Tunggal hanyalah laptop milik kepala desa. Benda yang bisa dilipat dan penuh teka-teki di dalamnya. Maklum saja, hidupnya hanya sebatas melihat rumput, kambing, dan rebana. Melihat laptop pun sudah takjub, apalagi benda yang dianggap ajaib itu.

“Benda apa ini, Pak?” tanya Rohmat pada operator laptop.       

“Proyektor digital namanya, Mas.”

“Ajaib sekali, kayak layar tancap.”

“Tapi ini lebih praktis, Mas. Ndak hanya bisa nonton film saja. Mau nonton pertandingan bola, pertandingan voli, atau nonton acara dangdutan? Tentu bisa! Tinggal disambungkan ke laptop saja,” jelas operator itu.

“Ajaib!” begitulah seru Rohmat berkali-kali selama operator menjelaskan bagian-bagian dan cara penggunaan proyektor digital. Senyum Rohmat pun mengembang selama diberi penjelasan. Sesaat kemudian, sebuah ide cemerlang terlintas dalam pikirannya.

Beberapa minggu kemudian, terlihat Banar mengendarai motor bebeknya menuju Desa Tunggal. Tas kurir besar menggantung di samping motor bebek itu. Tukang paket inilah yang sering mengantarkan barang ke rumah kepala desa. Maklum, di desa ini hanya beliaulah yang sering mendapatkan paket. Namun, entah mengapa hari ini Banar justru berbelok menuju rumah Rohmat. Halimah dan para tetangga yang sedang asyik menjemur jagung pun heran dengan kedatangannya.

“Pakettt!!! Bu Halimah! Ada paket buat Rohmat,” teriak Banar memarkir motor bebeknya di depan rumah Halimah.

“Tumben Rohmat dapat paket,” kata Halimah.

Banar segera mengeluarkan paket berbentuk kotak besar dari tas kurirnya. Kemudian ia menyerahkannya ke Halimah. Banar pun pergi setelah menyerahkan paket itu. Seperti biasa, para tetangga berbisik-bisik membicarakan paket yang diterima Rohmat. Bertambah penasaranlah para tetangga mengetahui paket yang diterima Rohmat ukurannya besar. Mendengar suara motor bebek Banar tadi, Rohmat langsung melempar rumput ke kandang. Ia sudah tidak sabar ingin membuka paket itu.

“Paket apa ini, Mas?” tanya Halimah membaca kertas yang tertulis di paket.

“Benda ajaib, Bu!” kata Rohmat bersemangat.

Halimah hanya menggeleng-gelengkan kepala setelah mendengar perkataan Rohmat tadi. Terbukalah sedikit demi sedikit kardus yang membungkus barang itu. Benda hitam berbentuk kotak keluar beserta kabel-kabel yang tertata rapi. Ada pula buku panduan yang ikut keluar. Inilah yang disebut benda ajaib oleh Rohmat, proyektor digital.

“Ini namanya proyektor digital, Bu. Benda ajaib! Mahal harganya walaupun bekas.”

“Sudah tahu mahal, mengapa dibeli? Benda ajaib? Ada-ada saja,” sahut Halimah.

“Ini juga masih mencicil di temannya Damar, Bu. Rohmat mau mengadakan acara nonton film bersama di balai desa. Hiburan anak-anak desa, kasihan mereka tak pernah pergi ke bioskop,” ujar Rohmat optimis.

“Rohmat, Rohmat! Warga desa saja sibuk membicarakanmu yang tak kunjung menikah, tapi kau malah sibuk membahagiakan anak-anak mereka,” ujar Halimah sambil tertawa.

Walaupun begitu, Rohmat tetap yakin Halimah akan mendukung sepenuhnya kegiatan itu. Tekadnya sudah bulat. Acara nonton film bersama satu desa akan dilaksanakan besok Minggu. Setelah membuka paket, agenda hari ini adalah pergi ke rumah Parto selaku kepala desa untuk menyampaikan rencananya. Tak lupa, ia juga akan mengundang beberapa warga desa untuk menyaksikan uji coba proyektor digitalnya.

Mendengar pengumuman Parto, Inah langsung mengajak ibu-ibu desa untuk memasak bersama di hari Minggu. Sejak sore, ibu-ibu desa sudah berbondong-bondong datang ke rumah Inah untuk memasak. Segala bahan masakan dibawa menggunakan keranjang. Acara masak akbar untuk makan malam pun dimulai. Inah membagi ibu-ibu menjadi beberapa kelompok masak. Ada yang bertugas menanak nasi, ada yang memasak gulai ayam, dan ada pula yang bertugas menyiapkan camilan. Acara nonton film bersama ini merupakan yang pertama kali di Desa Tunggal sehingga semua warga menjadi sibuk mempersiapkannya.

“Katanya acara nonton film ini usul Rohmat, loh!” kata Inah.

“Iya, Bu Inah! Saya juga dengar dari suami kalau Rohmat yang usul. Katanya juga, Rohmat bawa benda ajaib kemarin di rumah Pak Parto. Bisa mengeluarkan gambar di tembok cuma dengan cahaya saja,” sahut Mia sambil mengaduk gulai ayam di kuali.

“Seperti layar tancap mungkin, Bu!” protes Nonik.

“Iya, Bu. Tapi katanya lebih kecil. Tidak seperti yang dulu-dulu,” timpal Mia.

“Tak sabar aku melihat benda ajaib Rohmat,” kata Inah sambil mengangguk-angguk.

Sementara ibu-ibu sibuk memasak, bapak-bapak terlihat sedang menggelar tikar di lapangan balai desa. Berdasarkan keputusan bersama, mereka akan menonton film di lapangan balai desa saja. Hal ini dilihat dari antusias warga untuk menghadiri acara nanti malam sangat besar. Nantinya, layar yang akan mereka gunakan adalah dinding balai desa. Rohmat pun terlihat sudah mempersiapkan laptop dan filmnya. Ia juga sudah berencana memperkenalkan proyektor digitalnya kepada warga nanti malam. Kini proyektor digitalnya masih tersimpan rapi di rumah. Jo dan Irwan tampak bekerja sama memanggul tikar berukuran besar ke lapangan balai desa. Dijatuhkannya tikar besar itu di hadapan Bagus dan Akbar. Segeralah keduanya mondar-mandir menggelar tikar. Tak absen pula anak-anak ikut meramaikan lapangan balai desa. Mereka berlarian ke segala arah sehingga posisi tikar menjadi acak-acakan. Bersabarlah bapak-bapak karena harus bolak-balik memperbaikinya.

Semua warga telah berkumpul di lapangan balai desa selepas salat isya. Inah dan beberapa warga tampak membawa kuali besar berisi gulai ayam. Di belakangnya, ibu-ibu lain membawa panci besar berisi nasi. Camilan-camilan, seperti klepon, nagasari, dan keripik ubi pun sudah siap dihidangkan. Makanan-makanan tersebut ditata berjajar sepanjang tikar. Nonik dan Mia mengatur jalannya pembagian makan malam. Anak-anak didahulukan. Setelah mendapat makanan, mereka duduk di tikar dan saling bercakap satu sama lain. Setelah anak-anak, bapak-bapak dan ibu-ibu dipersilakan.

Dari kejauhan, Rohmat berlari menuju lapangan balai desa. Didekapnya proyektor digital dengan erat. Terengah-engah ia berlari karena jalan desa yang menanjak. Semua warga pasti sudah menunggunya. Ia pun tak sabar untuk memperkenalkan benda ajaib itu. Seharian penuh desas-desus benda ajaib milik Rohmat dibicarakan. Tukang las, pemilik warung kelontong, petani, peternak, anak SD, anak TK, pedagang sayur, dan tukang kayu pun penasaran dibuatnya. Sudah seharian menunggu, kini waktunya mereka menyaksikan benda ajaib itu.

Sesampainya di balai desa, Rohmat segera menyambungkan proyektor digital ke laptop. Semua warga masih tidak peduli dengan kedatangan Rohmat dan benda ajaibnya. Mereka tetap asyik menikmati gulai ayam dan berbagai camilan.

“Assalamualaikum, warga Desa Tunggal! Perkenalkanlah benda ajaib saya, proyekktoooorr diigiiitaaalll!!!” teriak Rohmat disambut keluarnya cahaya dari proyektor digital. Cover film “Keluarga Cemara” terpampang di dinding balai desa.

“Benda ajaib! Ajaib sekali, Rohmat!” teriak Jono, si tukang las.

“Seratus persen benda ajaib!” timpal Lana, si peternak ayam.

Riuh gemuruh tepuk tangan seluruh warga Desa Tunggal menyaksikan Rohmat memamerkan benda ajaibnya. Semua mata terbelalak melihat ada benda yang bisa menampilkan gambar ke dinding. Benda itu mengeluarkan cahaya, cahayanya bisa mengeluarkan gambar dari laptop. Ajaib! Begitulah kiranya warga memahami benda bernama proyektor digital. Rohmat sebenarnya ingin menjelaskan panjang lebar, tetapi warga terlihat sudah tak sabar menonton film. Hanya penjelasan singkat yang bisa ia sampaikan. Setelah itu, acara nonton film pun dimulai.

Berkat benda ajaib milik Rohmat, setiap dua minggu sekali seluruh warga mengadakan nonton bersama di lapangan balai desa. Tidak hanya digunakan untuk menonton film, tetapi juga untuk menonton pertandingan bola, pertandingan basket, dan pertandingan voli. Terkadang juga digunakan untuk senam ibu-ibu dan pengajian. Jo, Akbar, Irwan, dan Bagus pun sudah mahir memasang proyektor digital dan mengoperasikannya.

Rohmat telah memperkenalkan perkembangan teknologi kepada warga Desa Tunggal melalui proyektor digitalnya. Warga pun mulai sadar bahwa teknologi telah berkembang pesat. Banyak hal yang perlu digali, diketahui, dipelajari, dan dimanfaatkan guna mempermudah pekerjaan mereka. Rasa cinta Rohmat terhadap Desa Tunggal memang tidak perlu diragukan lagi. Tak peduli apa yang dibicarakan warga desa terhadapnya, ia akan selalu bertindak sesuai nalurinya. Mengabdi pada desa tempat kelairannya, Desa Tunggal.    

Komentar