Karya: Cerpen
Menukar
Sekarung Kemiri
Oleh:
Putri Mawalia
“Hujan
sudah reda,” gumam seorang lelaki yang amat lebat ubannya itu usai membuka
jendela kayu. Kelegaan tergurat jelas di mukanya yang telah kusut masai.
Semalam anaknya merengek meminta uang sekolah dibayarkan. Malu pada teman-teman
jika menunggak barang sehari. Apalagi jika ditegur ibu guru di depan kelas,
seperti semester lalu. Amboi seketika buat orang tua berpikir dan tak enak
hati. Sejak itu, Pak Landung, begitulah lelaki itu selalu mengusahakan tepat
waktu dalam hal apapun yang berkaitan dengan sekolah anaknya.
“Sedikit
gerimis, namun tak jadi soal. Akankah kita berangkat sekarang? Mumpung masih
waktu Asar,” timpal istrinya.
Tanpa
menjawab, Pak Landung menutup jendela dan berjalan menuju bilik belakang.
Diambilnya karung dan parang. Keduanya keluar rumah menantang rintik sisa
hujan. Begitu kaki menjejak, tanah langsung mencekung membuat cetakan sandal.
Terasa sangat lama air tak mengguyur perkampungan itu. Kemarin tanah tandus
hingga permukaannya jadi debu halus. Bertebaran jika angin musim kemarau datang
dengan beringas. Giliran basah, kini becek di mana-mana.
Lihatlah,
kaki Pak Landung dan istrinya telah mandi lumpur. Mereka tak peduli dan terus
berjalan menuju sungai yang berjarak setengah kilometer dari rumah. Benar saja,
setiba di sana air sudah meninggi. Namun beruntung, tingginya tak sampai
menenggelamkan jembatan kawat yang menghubungkan kampung dengan ladang.
Sebenarnya pemerintah desa sudah mengajukan proposal pembangunan jembatan. Umumnya
warga mencari tambahan penghasilan dengan memanfaatkan sumber daya alam di ladang
yang sebenarnya berada dalam kawasan hutan. Pada musim tertentu, mereka dapat
kembali dari semaknya belantara dengan membawa ubi ataupun kemiri. Para lelaki
memanggul karung-karung melewati jembatan di atas sungai yang mereka sebut
sebagai jembatan Lumpe. Satu tangan memegang karung di pundak, sedangkan tangan
lain memegang erat kawat sepanjang 10 meter. Apa daya, kata pihak kecamatan,
sungai itu berada dalam kawasan taman nasional Gunung Leuser. Sampai kapanpun
mustahil dibuat jembatan.
Kini,
ketika semua orang di kampung memilih menunggu Magrib di rumah, Pak Landung dan
istrinya hendak mencari kemiri. Seperti dugaan mereka, banyak kemiri yang
berserakan di rerumputan. Hujan seharian tadi telah merontokkan seluruh kemiri
kering dari rantingnya. Girang sekali hati Amini, istri Pak Landung. Ia berlari
seperti anak kecil, menghampiri tempat kemiri-kemiri tersebar dan mengambilnya.
Tak apalah basah, esok dikeringkan jika ada panas. Kalaupun bertemu mega-mega
hitam, masih bisa diangin-anginkan di dalam rumah.
“Mak,
esok pembagian beras di balai desa. Marsudi sudah pesan mau pinjam beras kita.”
Ucapan Pak Landung seketika menghentikan Amini dari asyiknya menyibak
rerumputan.
“Lalu?”
tanya Amini dengan nada tak peduli.
“Sedikit
sekali makan keluarga kita. Kasihan, Marsudi punya anak banyak,” jawab Pak
Landung.
Itulah
yang tidak disukai Amini dari suaminya. Kebaikannya kepada orang lain
seringkali mematahkan hati. Tak heran mereka tak punya tabungan. Bagaimana bisa
setiap ada panen, uangnya dipinjamkan yang membutuhkan dan hampir tak pernah
kembali. Seperti perihal beras. Ingin hati si Amini menjualnya saja jika tidak
dimakan. Uangnya disimpan untuk keperluan Ramli, sang buah hati.
“Bolehlah
seperempatnya saja. Ramli sudah bosan makan beras lapuk dieram kutu,” sahut
Amini tanpa menoleh ke arah suaminya.
***
Leuser mengistirahatkan dirinya pada
tanah memanjang. Hutannya lebat dan mahakaya. Pak Landung memiliki ladang satu hektar
yang ditanami kayu manis dan pohon kemiri. Ada pula ubi gadung yang tersebar di
beberapa titik, makanan pokok kala paceklik. Tidak ada istilah panen padi di
Desa Pungke, Putri Betung. Maka tak ada lumbung di dapur Amini. Mereka hanya
punya sepetak ladang, bukannya sawah.
Meski
begitu, beras masihlah jadi makanan pokok. Hari ini keluarga Pak Landung
menerima bantuan raskin. Begitu beras dibagikan, Marsudi mengambil pinjaman
makanan pokok itu. Meskipun agak jengkel, iba juga hati Amini ketika melihat saudara
jauhnya itu. Diberinya separuh bagian. Berharap Allah melipatkan rejekinya di
kemudian hari.
“Besok
beli beras sendiri sajalah, Mak. Kuning begini aku tak suka,” ujar Ramli
setelah membuka tudung saji.
Amini
menatap Ramli dengan tajam. Agaknya sedikit manja polah lelakinya. “Disyukuri,
kau mau makan gadung bergaram saja?”
Ramli
menggeleng. Ia pun duduk dan mengambil piring bersih dari rak perkakas makan. Tak
lama kemudian, Ramli mengunyah nasi bersayur daun ketela santan dengan
bermalasan. Lidahnya terasa pahit. Tidak seperti biasanya. Dikira ada yang
salah dengan kudapannya, namun bukan. Nahkan mengecap teh manis saja rasanya
jadi sepah.
“Mengapa
tak dihabiskan? Tidak berkenan berasnya busuk?” Sindir Amini dengan nada
tinggi.
“Bukan
Mak, hanya rasanya aku tak selera. Kutinggal sini, kumakan siang nanti,” jawab
Ramli sembari memasukkan piringnya ke dalam tudung saji.
“Sinilah
dulu, sini,” hardik Amini.
Ramli
menghampiri mamaknya dengan resah. Akan diapakan nanti. Trauma kupingnya
dicowel. Begitu sampai, Amini menyentuh kening Ramli yang sedikit panas.
“Istirahatlah,”
perintah perempuan berusia 47 tahun itu dengan suara rendah.
Begitulah
kiranya sakit mulai bersemayam pada tubuh anaknya. Amini bergegas memakai
kerudung dan pergi ke luar rumah. Ada tabib herbal yang mungkin bisa memberikan
resep. Bukan soal saking sayangnya kepada Ramli lalu ia cepat-cepat mencari
penawar. Beberapa bulan ini kabar tentang wabah yang bermukim di berbagai
penjuru telah sampai di Pungke. Orang-orang bergejala masuk angin sudah
menggemparkan seisi kampung. Pihak Pukesmas yang biasanya bertandang sebulan
sekali di balai, kini menjadi lebih rajin. Setiap hari pasti ada yang jaga.
Namun berbeda dengan biasanya. Jika masyarakat bersuka cita membawa pasien ke
balai kampung karena ingin sembuh dari sakit, kini jadi takut-takut. Pasalnya,
orang flu berat di kampung sebelah harus dibawa ke pusat kabupaten dan tak
pulang berminggu-minggu. Semenjak itu, orang-orang lebih baik menutup diri di
dalam rumah yang rapat sampai sembuh dari sakitnya.
“Bagaimana
kondisinya?” Tanya Safiyah, rujukan kedua bagi orang di kampung untuk berobat.
“Baru
demam, Mak. Berilah obat yang cepat manjur biar Ramli lekas riang bersama
teman-temannya,” pesan Amini.
Safiyah
mengangguk-angguk dan membungkuskan dedaunan ke dalam plastik. Ada pula
campuran rempah yang harus diminum Ramli. Selanjutnya, Amini pulang dengan
tergesa. Ia heran mengenai hal sepele yang membuat hatinya amatlah gusar itu. Bukankah
sebelumnya masuk angin adalah perkara lumrah?
Upaya
Amini rupanya kurang. Ia sudah menghangat-hangatkan Ramli dengan selimut tebal,
menyuapinya meski susah ditelan, hingga rutin meminumkan jamu dari Safiyah
setiap hari. Sudah seminggu sejak anaknya demam, tetapi tak ada perubahan lebih
baik. Tiap malam meracau karena suhu tubuh yang kian meninggi. Pak Landung yang
berhati baja pun mulai goyah kesehatannya karena kurang tidur menunggui Ramli
setiap malam. Tak ayal, ia pun jadi jatuh sakit.
Kelamaan,
entah dari mana kabar jatuh sakitnya Ramli dan bapaknya tersiar jadi
perbincangan tetangga. Tidak ada yang mendekati keluarga Pak Landung karena
was-was terjadi sesuatu. Maka dilaporkan musibah sakit keluarga Pak Landung itu
pada pihak Pukesmas. Tak lama setelahnya, datanglah beberapa orang berbungkus
pakaian putih ke rumah Pak Landung. Amini, satu-satunya orang yang merasa sehat
walafiat pun tampak pucat pasi. Banyak kecemasan bersarang memenuhi hati. Ada
sanak yang bisa diajak bicara mengenai hal itu, tetapi rumahnya amatlah jauh.
Ia pun pasrah menaati apapun yang dikatakan Bapak Ibu Dokter.
Menjinjing
tas yang berisi pakaian ganti dan beberapa lembar uang, Amini dan keluarga
kecilnya memasuki mobil ambulan. Puluhan pasang mata para tetangga mengantar
kepergian mereka.
***
“Jangan
cemas, Mak.” Hibur Pak Landung melihat istrinya murung.
“Banyak
yang kupikir, Pak. Bagaimana sesungguhnya penyakit itu sampai pada tubuh Ramli.
Kita tidak pernah bepergian jauh dan tidak pernah bertemu orang asing.
Bagaimana Ramli tertular?” tanya Amini dengan masygul.
“Kau
sudah tahu Ramli sakit apa?”
Amini
menggeleng.
“Kita
belum tahu. Tunggu saja dan dengarkan apa kata dokter. Pada masa ini wajar
mereka berhati-hati. Begitu jahatnya corona memakan jiwa orang-orang di dunia.
Sudahkah kau melihat berita itu?” tanya Pak Landung.
Amini
kembali menggeleng.
“Meskipun
begitu aku yakin Ramli sekadar tak enak badan. Ini musim pancaroba. Banyak anak
kecil yang masuk angin. Hanya saja sakit si Ramli lebih awet.” Gumam Pak
Landung menenangkan istrinya.
Hari
silih berganti. Tes pemeriksaan sehat Ramli belum juga keluar. Amini dan Pak
Landung mendekam pada apaknya bangsal yang berbeda dengan anaknya. Raga kedua
orang tua itu telah dinyatakan tak kurang suatu apa. Meskipun selama
berhari-hari biaya rumah sakit dan keperluan mereka disubsidi, tampaknya mereka
tetaplah harus merogoh saku. Apalagi sekali menjenguk Ramli, terkadang Pak
Landung harus mengeluarkan uang untuk membeli bubur atau nasi padang. Semakin
menipis jumlah rupiah yang dimiliki.
“Masih
ada sekarung kemiri di rumah,” kata Pak
Landung.
“Ingat
Pak, bagaimana kita akan membayar sekolah Ramli?” tegur Amini.
Pak
Landung menghela nafas. “Bukan saatnya kita memikirkan hal itu. Yang terpenting
Ramli bisa terbebas dari sini dahulu.” Katanya.
Pembicaraan
keduanya langsung terpotong setelah dua orang laki-laki berjas putih
menghampiri.
“Kabar
baik, Pak. Setelah di-swab ternyata
anak Bapak Ibu negatif. Dia infeksi pencernaan, tetapi sudah pulih setelah kami
rawat. Nanti sore sudah bisa pulang. Mohon mengurus penebusan obat di bagian farmasi,”
jelas Pak Dokter.
Hampir-hampir
Aminah menjerit saking bersyukurnya. Ia dan Pak Landung pun menemui sang anak
yang telah menunggu di ruangan lain. Namun, sebelum urusan pembayaran dan
penebusan obat, Pak Landung memisahkan diri. Ia berpikir bagaimana mendapatkan
pinjaman sementara. Jaman teknologi seperti sekarang tak mengubah Pak Landung
sebagai seorang lelaki tua yang kuno. Ia tak punya telepon genggam canggih untuk
menghubungi Keuchik Maliki. Sepertinya kepala kampungnya itu jadi satu-satunya
orang yang dapat diharapkan.
Meminta
ijin Aminah, Pak Landung pulang ke Pungke terlebih dahulu. Ia pulang dengan
ongkos angkutan sekali jalan. Selebihnya ia harus jalan kaki berpuluh kilo
meter. Untung Pak Landung sempat jadi atlet lari kala sekolah dasar. Ia dikenal
sebagai pekebun yang kuat membawa berkilo-kilo gadung. Maka tak heran meski
jauhnya perjalanan pulang, ia mampu juga.
Sesampai
di kampung, Pak Landung disambut para tetangga. Mereka meminta maaf tidak bisa
menemani dan membantunya di kala susah. Pak Landung hanya tersenyum memaklumi.
Usai menanggapi ucapan-ucapan kelegaan mereka, Pak Landung langsung pulang.
Segera ia menuju dapur. Dipandangnya sekarung kemiri yang telah dikumpulkannya
bersama Aminah setelah beberapa kali pergi ke ladang. Harta terakhir saat ini
yang mereka miliki. Rencananya, uang penjualan kemiri akan digunakan untuk
membayar uang sekolah Ramli. Sisanya untuk membeli peralatan tulis. Sisanya
lagi untuk membeli gula dan garam.
Ah, bukan saatnya berpikir tentang
itu,
Pak Landung menyadarkan dirinya. Tanpa beristirahat barang sebentar, ia memikul
sekarung kemiri itu untuk dibawa ke rumah Keuchik. Diutarakannya apa yang
terjadi beberapa hari terakhir kepada kepala kampung. Ia memperlihatkan beberapa
surat dari Rumah Sakit di Kabupaten Gayo Lues, di antaranya surat keterangan
sehat dan kwitansi obat. Jarinya juga menunjuk sekarung kemiri yang tadi
dibawa.
“Itu
nanti kujual untuk menebus obat. Kekurangannya saya pinjam dulu.” Pinta Pak
Landung dengan tenggorokan seakan tersekat.
Keuchik
Maliki tersenyum. Sebenarnya ia telah mengetahui semuanya berkat komunikasi
yang baik dengan pihak pukesmas dan rumah sakit. Dikabulkannya pinta Pak
Landung. Ia menerima sekarung kemiri untuk diletakkan di rumahnya terlebih
dahulu. Sore itu pun, Keuchik yang amat bijaksana mengeluarkan motor usangnya.
“Ayo
kuantar menemui Ramli. Urusan obat akan kuselesaikan.” Kata Keuchik Maliki
sambil menghidupkan mesin motor.
Komentar
Posting Komentar