P A R L A N
Panas terik matahari merasuk menusuk kulit hingga ke tulang pria yang diperkirakan usianya hampir sepuluh windu itu. Hamparan tanah yang luas, berisi tanaman padi yang belum menguning menjadi kantor dinasnya setiap hari. Usia senja tidak menyurutkan semangatnya untuk terus bekerja. Pria itu bernama Parlan. Kakek tua yang harus menghidupi kedua cucunya yang merupakan korban dari kekejaman orang tua yang meninggalkan mereka sewaktu masih bayi. Parlan hanya memiliki satu anak kebanggaannya, yaitu Hamilah. Halimah, ibu yang tega meninggalkan anaknya yang masih kecil karena ia tidak ingin menjalani kehidupan dengan kemiskinan. Istri Parlan meninggal pada saat Halimah berusia lima tahun, karena mengidap penyakit kronis dan tidak mampu membiayai pengobatannya. Halimah dibesarkan oleh Parlan, ayah yang selalu menjaga dan merawatnya dengan penuh kasih sayang hingga ia rela bertaruh nyawa demi kebahagiaan putrinya.
Namun, sayang sekali apa yang dilakukan oleh Parlan tidak berbanding lurus dengan tingkah laku Halimah. Halimah merupakan seorang yang selalu harus dituruti semua keinginannya, kasar, pembangkang, dan selalu menuruti emosinya. Dia tidak melihat perjuangan Parlan yang selalu ingin menjadi ayah terbaik untuknya. Parlan merupakan seorang yang taat beribadah, tidak pernah ditinggalkannya salat lima waktu dan dzikir, ramah, dan rendah hati sangat berbanding terbalik dengan Halimah. Entah mengikuti jejak siapa perilaku Halimah seperti itu. Para tetangga dan kerabat mengenal baik Parlan bahkan iba kepadanya, tetapi setelah mengetahui kelakuan anaknya hilang rasa iba mereka. Bahkan Parlan sering dilabrak orang karena ulah anaknya itu. Gadis gadungan menjadi ikon Halimah pada saat itu.
Sepanjang hidup Halimah belum pernah membanggakan ayahnya yang sudah banting tulang untuk menghidupinya. Semasa sekolah Halimah tidak pernah betul-betul memperhatikan pelajaran di sekolah hingga sering membolos sekolah. Entah apa yang ada dipikiran cetek gadis itu. Pengaruh pertemanan juga menjadi faktor Halimah berperilaku seperti itu. Meski didikan sang ayah sudah sangat baik, tetapi belum menjadikan Halimah menjadi putri yang baik untuk ayahnya. Parlan hanya bisa menasihati putrinya dengan halus, itupun tidak merubah keadaan apapun. Hidup sendiri, tanpa istri dan anak gadungan menjadi cobaan berat bagi Parlan. Parlan hanya bisa pasrah menerima takdir yang sudah digariskan oleh Sang Khalik. Baginya, rencana Tuhan tidak ada yang salah, yang terpenting ia sudah berusaha merubah nasibnya menjadi lebih baik.
“Ayah minta duit buat jajan sama beli baju” pinta Halimah tanpa sopan santun.
“Kemarin sudah habis?” jawab Parlan pelan.
“Udah, kemaren cuma buat beli bedak sama jalan-jalan” timpanya.
“Sekarang Ayah belum ada uang Nak” jawabnya lagi. Tanpa sepatah katapun Halimah pergi dengan mambanting daun pintu.
Yeah, itu kegiatan Halimah setiap hari, meminta uang dan marah-marah kepada sang ayah karena keinginannya tidak terpenuhi. Tumbuh menjadi anak yang setiap orang tua tidak pernah mengharapkan memiliki anak dengan sifat seperti Halimah membuat Parlan sangat memanjangkan ususnya. Parlan percaya suatu saat nanti pasti akan ada hari indah dimana dia merasa bahagia dengan apa yang dia punya. Dan kemudian, Tuhan mengirimkan kedua cucunya tersebut.
Kedua cucunya itu merupakan anak kembar yang lahir dari rahim seorang Halimah dengan pemuda kaya raya di kota. Awal pertemuan mereka memang seperti sepasang muda mudi pada umumnya. Awal bertemu Halimah pria itu tidak sengaja berbelanja di toko tempat Halimah bekerja. Cinta pada pandangan yang pertama bisa dibilang seperti itu. Setiap hari semakin sering pria itu menemui Halimah di toko. Hingga suatu hari pria tersebut membuktikan keseriusannya kepada Halimah. Pria itu menerima Halimah apa adanya dengan segala kekurangan Halimah dan kondisi ekonomi yang serba kekurangan. Manis diawal pertemuan hingga pernikahan. Dalam hati Parlan sebagai orang tua dia memiliki perasaan tidak yakin terhadap calon menantunya tersebut, tetapi kembali lagi jika Halimah sudah menentukan pilihan, Parlan tidak bisa menolaknya. Dengan memberikan restu, pernikahan itu digelar mewah di desa. Sempat pula menjadi perbincangan warga desa, tetapi hal tersebut bukan masalah bagi Halimah. Bahkan pernikahannya ini dijadikan kesombongan untuk dirinya.
Usai pernikahan digelar Halimah dibawa oleh suaminya ke kota. Awal pernikahan memang indah. Tetapi setelah Halimah mengandung, semuanya berbeda 180 derajat. Awalnya manis berujung pahit. Halimah menerima ketidakadilan dalam rumah tangganya sendiri. Kekerasan dan perlakuan kasar diterima oleh Halimah. Tidak tahan menerima perlakuan suaminya, Halimah pulang ke rumah ayahnya. Parlan hanya memendam kekesalan kepada menantunya tersebut. Parlan sudah mempunyai firasat sebelum pernikahan berlangsung, tetapi ia tidak berani mengutarakan apapun. Parlan menerima kehadiran Halimah dengan lapang dada dan gembira apalagi dengan akan hadirnya cucu ke rumahnya. Hari semakin berlalu, semakin membesar pula kandungan Halimah. Tepat di tengah malam Halimah merasa sakit di perutnya. Parlan panik dan memanggil dukun beranak di desanya. Halimah melahirkan putra kembar yang tampan. Tangis Halimah pecah saat anaknya lahir. Parlan resmi menyandang status sebagai kakek.
Beberapa bulan setelah kelahiran anaknya Halimah pergi meninggalkan mereka. Entah apa alasan Halimah meninggalkan ayah dan kedua putranya. Parlan mencari Halimah ke seluruh sudut rumah hingga seluruh kampung namun tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Memang kelakuan Halimah tidak pernah berubah, dia hanya bisa membuat beban kepada ayahnya. Kini, si kembar hanya hidup dengan kakeknya. Parlan membesarkan mereka dengan kasih sayang yang luar biasa.
Setiap harinya, Parlan hanya melakuan kegiatannya yaitu bekerja di sawahnya. Saat ia berada di sawah, Parlan selalu menitipkan cucu-cucunya ke tetangga. Sebenarnya Parlan tidak enak hati menitipkan si Kembar setiap hari ke tetangganya itu. Tetapi ia terpaksa, tidak mungkin ia membawa balita yang baru memasuki usia satu tahun ke sawah dan berpanas-panasan disana.
Parlan bekerja sangat keras untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Kalau ada waktu luang dan tidak bekerja di sawah, Parlan akan bekerja serabutan atau menjual koran di pinggir jalan. Parlan tak ingin cucu-cucunya merasakan kekurangan, jadi dia bekerja keras untuk mendapat uang. Parlan bahkan pernah di tangkap satpol pp karena berdagang di trotoar jalan. Parlan sangat sedih ketika gerobak untuknya berjualan di tahan di kantor satpol pp. Tapi dia tidak menyerah, Parlan terus mencari kerja sampingan untuk mendapat uang.
Parlan selalu berdoa untuk kepulangan anak semata wayangnya, Halimah. Kurang lebih satu tahun Halimah tidak pulang dan tidak di ketahui keberadaanya. Sesekali Parlan menyampatkan untuk mencari anaknya dikala dia sedang libur bekerja. Parlan masih mencari keberadaan Halimah, yang entah Halimah sendiri memikirkan Parlan atau tidak. Tapi Parlan tidak peduli dengan itu, yang dia pikirkan anaknya pulang atau sekedar tau keberadaannya ada dimana.
Walaupun Halimah sangat membebani orang tuanya, tapi anak tetaplah anak. Semenyakitkan apapun perlakuan Halimah kepada Parlan, Halimah tetap tanggung jawabnya selama dia belum memiliki suami. Tetapi nyatanya suami dari putrinya itu sangatlah kasar dan tidak bertanggung jawab. Sebenarnya Parlan sangat kasihan terhadap putrinya itu, tapi Halimah memilih pergi meninggalkannya dan anak kembarnya yang saat itu masih bayi. Parlan sangat sedih jika mengingkat kejadian itu dan kejadian dimana istri kesayangannya meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Setelah tujuh tahun berlalu si Kembar tumbuh menjadi anak yang baik, rendah hati, ramah, pengertian, dan penurut. Si Kembar selalu membantu kakeknya saat dia sedang bekerja di sawah. Tentunya tidak setiap hari si Kembar menemani kakeknya, karena kakeknya tidak mau si Kembar jatuh sakit. Pada saat si Kembar mulai memasuki sekolah dasar, si Kembar mulai menyadari kalau di rumah merea tidak ada kehadiran seorang ibu. Setelah pulang sekolah, si Kembar bertanya ke kakeknya mengenai keberadaan ibu mereka berada. “Kakek, dimana Ibu? Semua teman-temanku memiliki ibu, apakah aku tidak punya ibu?” tanya si Kembar setelah mereka pulang bermain. Parlan merasa terkejut dengan pertanyaan cucunya itu “Kenapa kalian menanyakan itu tentu saja kalian mempunyai ibu.” Kata Parlan. “Lalu sekarang ibu ada dimana? Kenapa aku tidak pernah melihatnya?” tanya si Kembar lagi. “Ibu kalian pergi, dia sedang mencari uang untuk jajan kalian dan untuk makan kita.” Dusta Parlan kepada si Kembar. Salah satu dari mereka bertanya “Apakah ibu akan pulang? Kapan dia pulang?”. “Ibu pasti akan pulang dan akan tinggal bersama kita.” Ucap Parlan dengan penuh keyakinan. Lalu Parlan memeluk si Kembar dan menyuruh mereka untuk membersihkan diri.
Parlan merasa sedih ketika si Kembar menanyakan keberadaan ibu mereka. Parlan sendiri juga tidak tau dimana Halimah sekarang. Ia hanya bisa berdoa kepada-Nya, agar Halimah cepat pulang ke rumah mereka. Parlan sekarang sudah tua, masih bisa bekerja di sawah saja dia sudah sangat bersyukur karena masih bisa mendapatkan uang untuk sekolah dan untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari. Parlan juga sudah sakit-sakitan, kalau dia kelelahan saat bekerja dia bisa sait lima hari dan berbaring di kamarnya seharian. Tapi Parlan tidak menyerah, dia berusaha tetap sehat demi cucu-cucunya. Sesekali Parlan mencari keberadaan Halimah. Pada suatu hari, ada orang yang mengenal Halimah dan menunjukan letak rumah Halimah berada dimana. Tapi hasilnya nihil, Parlan tidak menemukan Halimah. Pada saat yang sama juga Parlan mencari Halimah di sekitar wilayah itu, tetapi hasilnya tetap Parlan tidak menemukan Halimah.
Parlan sempat hampir menyerah, tapi ketika melihat cucu-cucunya Parlan menepis pikiran itu dan terus mencari Halimah. Sampai satu tahun kemudian, saat si Kembar berusia sembilan tahun Parlan sudah sangat lemah. Dia jarang ke sawahnya untuk bekerja atau mencari Halimah. Tanpa sepengetahuan Parlan, si Kembar mencoba membantu Parlan dengan menjadi pengamen di jalanan. Dan pada hari itu, si Kembar ngamen di lampu merah tempat biasa mereka mengamen. Saat itu lumayan mendung, dan hampir hujan si Kembar mendatangi kendaraan-kendaraan yang berhenti saat lampu merah. Tanpa merea ketahui, ternyata salah satu dari pengendara itu adalah Halimah. Saat Halimah melihat mereka, Halimah berkata pada dirinya sendiri, “Mungkin sekarang si Kembar sudah besar seperti mereka.” Dan lampu hijau menyala tandanya para pengendara sudah diperbolehkan melanjutkan perjalanan mereka.
Malamnya si Kembar pulang dan betapa terkejutnya mereka ternyata Parlan a.k.a kakek mereka sudah menunggu kepulangan mereka. Dengan rasa takut, si Kembar menghampiri sang kakek dan duduk di hadapannya. “Kalian habis dari mana” tanya sang kakek tiba-tiba. Lalu si Kembar berkata “Em anu maaf kek, kita dari rumah temen habis main sama merjain pr.” Sang kakek nampak memperhatikan si Kembar lalu dia berkata “Terus dimana buku dan peralatan tulismu?” tegas sang kakek. DEG. Si Kembar saling menatap dan kemudian mereka menundukan kepala mereka. “Sekarang kalian jujur, kalian habis dari mana” tanya Parlan dengan nada menginterogasi. “Anu kek, emm kita, k-kita habis ngamen.” Jelas salah satu. Dengan tatapan tak percaya Parlan melipat tanggannya dan kemudian berkata “Kakek sudah bilang jangan pernah bekerja, cukup bantu kakek di sawah dan belajar dengan giat” sejujurnya Parlan sangat sedih melihat cucunya yang masih sekolah bekerja untuk membantunya. “Sekarang kalian mandi dan tidur, besok bantu kakek di sawah ya.” Ucap Parlan dengan melembutkan nada bicaranya. Si Kembar menurut dan langsung melaksanakan apa yang di perintah sang kakek.
Keesokan harinya Parlan merasa kepala dan seluruh badannya terasa sakit. Parlan tidak sanggup berdiri bahan untuk duduk dan mengambil air minum dan obatnya yang ada di meja. Parlan akhir-akhir ini memang sering sakit, tapi ia abaikan dan tetap bekerja untuk menghidupi cucu-cucunya itu. Akhirnya dia memanggil si Kembar dan meminta mereka untuk mengambilan obatnya yang ada di meja, “Nak, tolong ambilkan kakek obat itu” ucap Parlan dengan lemas “Baik kakek” jawab si Kembar. Setelah minum obta Parlan memutuskan unutk kembali merebahkan dirinya dan beristirahat berharap besok ia sembuh dan bisa melanjutkan kegiatannya di sawah.
Tetapi ternyata tidak, Parlan semakin sakit. Parlan merasakan sakit yang luar biasa di bagian kepalanya. Si Kembar lalu memanggil salah satu tetangga sekaligus kepala desa di situ. “Pak kepala desa, tolong kakek saya, katanya kepalanya sangat sakit dan dia merasa lemas” ucap si Kembar dengan perasaan cemas. Tanpa menunggu lama, kepala desa dan si Kembar kembali ke rumah sederhana yang di tinggali Parlan dan cucunya. “Apa yang terjadi pak? Apa ini sudah sering terjadi?” tanya kepala desa kepada Parlan. “Ini sudah biasa terjadi,tapi entah kenapa hari ini kepala saya terasa sangat sakit berbeda dari biasanya.” Kata Parlan dengan lemas. “Kalau begitu saya bawa pak Parlan ke klinik saja ya? Agar mantri memberi obat yang tepat untuk pak Parlan.” Ucap kepala desa dan bersikap ingin membantu Parlan. Tetapi sebelum itu, Parlan menolak ajakan kepala desa. “Maaf pak, tapi saya tidak memiliki uang untuk berobat ke klinik. Tolong beri saya obat warung saja, persediaan di kotak obat sudah habis.” Kata Parlan pelan. “Tidak pak, lebih baik ke klinik saja biar saya yang mengurus keuangannya. Kalian tolong panggil beberapa warga untuk membantu membawa kakek kalian ke klinik.” Ujar kepala desa dan si Kembar berlalu untuk memanggil beberapa warga. “Terima kasih pak kepala desa, saya anggap ini hutang saya kepada pak kepala desa.” Kata Parlan yang sedang berjalan dan dibantu kepala desa. “Baiklah terserah pak Parlan saja, yang penting sekarang pak Parlan ke klinik dan diberi penanganan mantri.” Final kepala desa.
Sesampainya di klinik, Parlan langsung di periksa oleh mantri yang ada. Kepala desa, si Kembar dan beberapa warga menunggu Parlan yang sedang di periksa. Salah satu warga bertanya kepada si Kembar “Apakah Halimah tau mengenai sakitnya pak Parlan? Sunggu dia sangat kasihan di saat sakit seperti ini tetapi anaknya tidak datang untuk menjenguk.” Si Kembar hanya menggelengkan kepalanya, si Kembar juga berharap ibunya itu pulang dan tinggal bersama mereka tapi sepertinya harapannya itu cuma bisa terwujud di mimpi mereka saja. Di rumah ada beberapa foto Halimah itupun sudah usang karena termakan usia jadi mereka tidak mengetahui wajah ibu mereka. Tiba-tiba mantri keluar dari kamar Parlan dan memanggil salah satu orang dewasa yang ada di situ. “Apakah bapak keluarga pasien?” tanya mantri itu. “Saya tetangga sekaligus kepala desa, saya yang bertanggung jawab atasnya.” Jawab kepala desa. “Jadi begini pak, ada masalah disekitar otak pak Parlan, kemungkinan untuk sembuh sangat sedikit dan obat-obatan di sini belum memadai.” Jelas mantri kepada kepala desa. Kepala desa sangat terkejut dengan penjelasan mantri itu. Dia keluar dari ruangan mantri itu, si Kembar langsung menanyai kepala dea “Bagaimana kakek, pak?” tanya si Kembar “Kakek baik-baik saja, nak. Kakek Cuma kelelahan saat bekerja.” Dusta kepala desa sambil mengelus kepala si Kembar.
Setelah beberapa hari dirawat, pak Parlan di perbolehkan pulang. Tetapi tidak ada yang tau apa yang di rencanakan Tuhan, sebelum mereka semua pulang Parlan mengalami kejang dan sakit kepala yang parah. Mantri sudah berusaha untuk memberi obat-obatan yang tepat dan cepat menangani Parlan, tapi ternyata Tuhan lebih sayang kepada Parlan. Dia meninggal di klinik tersebut. Si Kembar langsung menangis sejadi-jadinya saat mengetahui kakek kesayangannya meninggal. Dan di hari yang sama pula, Halimah anak semata wayang Parlan pulang ke rumah dengan tampilan yang berbeda. Dulu Halimah memang menjadi wanita nakal dan tidak punya rumah. Tetapi sekarang ia berbeda, Halimah sudah bertobat dan ingin meminta maaf kepasa sang ayah atas perilaku yang selama ini ia lakukan. Halimah mengetuk pintu “Assalamualaikum, yah. Ayah dirumah?” tidak ada jawaban. Halimah mencoba mencari sang ayah di sawah miliknya, tetapi kosong. Akhirnya Halimah memberanikan diri untuk bertanya ke salah satu tetangga yang kebetulan ada di luar rumah. “Permisi bu, dimana ayah saya? Dari tadi saya coba panggil tapi tidak ada jawaban.” Jelas Halimah kepada tengangganya itu. Dengan cengiran khas ibu-ibu julid, tetangga itu menjawab “Baru pulang kau. Setelah bertahun-tahun meninggalkan ayah dan anakmu masih punya muka untuk pulang.” Sindir tetangga itu “Pak Parlan beberapa hari yang lalu sakit parah dan sekarang ada di klinik bersama kepala desa dan beberapa warga. Oh ya, jangan lupakan si Kembar yang selalu menjaga kakeknya.” Halimah sangat terkejut dengan penuturan sang tetangga. “Kalau begitu saya permisi ke klinik bu, permisi.” Namun sebelum halimah pergi dari tempatnya, kepala desa dan beberapa warga menggotong tubuh Parlan yang sudah meninggal untuk acara pemakaman. Dan Halimah kembali terkejut dan meminta penjelasan kepada kepala desa, “Apa yang terjadi pada ayah saya” ucap Halimah sambil menahan tangis. “Pak Parlan sudah meninggal karena ada masalah di sekitar otaknya. Dia mengalami kejang dan sakit kepala yang luar biasa sebelum dia meninggal” saat mendengarkan penjelasan kepala desa, Halimah sudah menangis dan merasa bersalah karena selama ini dia tidak bisa membahagiakan atau membanggakan ayahnya. Niat hati pulang ingin meminta maaf dan hidup bahagia di masa tua sang ayah, tapi ternyata Halimah sudah terlambat. Sang ayah sudah di panggil oleh Tuhan sebelum dirinya meminta maaf. Halimah sangat menyesal.
Tak lama kemudian ada anak yang Halimah lihat di lampu meran waktu itu. Halimah dengan ragu mendekati kedua anak itu dan bertanya “Kalian siapa?” si Kembar hanya menjawab seadanya di sela tangisnya “Kami cucu dari kakek Parlan.” Halimah sangat terkejut. Ternyata mereka adalah anak kembar yang ditinggalnya dulu. Halimah kambali menangis dan memeluk kedua anaknya itu “Nak kamu tau anak dari kakek Parlan?” ucap Halimah sambil mengelus punggung mereka berdua. Si Kembar hanya menjawab dengan anggukan “Iya kami tau, dia juga ibu kami. Tapi ibu meninggalkan kami karena sedang mencari uang untuk membiayai kami.” Halimah tersenyum dalam hatinya berkata “Ternyata selama ini ayah tida pernah menjelek-jelekan aku di depan anakku.” Sambil memeluk si Kembar Halimah berkata “Hey nak, aku ini ibu kalian anak dari kakek Parlan.” Mereka berdua terkejut dengan pengakuan Halimah. Mereka sedikit ragu, namun setelah Halimah menunjukan fotonya dengan sang ayah si Kembar langsung memeluk Halimah dengan erat. “Ibu dari mana saja? Kakek sangat merindukan ibu, bahkan setiap hari kakek mencari ibu sebelum kakek sakit-sakitan.” Ucap si Kembar sambil menangis. Halimah kembali di kejutkan dengan perkataan si Kembar, ternyata selama ini sang ayah selalu mencarinya padahal Halimah selalu durhaka dan tidak sopan kepada sang ayah.
Para warga sedang sibuk dengan jenazah Parlan. Mereka memandikan, menyolati, dan akhirnya mereka membawa Parlan ketempat terakhirnya. Halimah sangat menyesal. Dia menangis saat ayahnya di masukan di liang lahat dan di tutup dengan tanah. Setelah selesai dengan pemakaman, para warga satu per satu mulai pulang. Dan sekarang tinggal Halimah dan si Kembar. “Ayah maafkan Halimah, Halimah sudah menjadi beban untuk ayah, Halimah ingin meminta maaf kepada ayah, tapi kenapa ayah meninggalkan Halimah sebelum Halimah meminta maaf ke ayah.” Ucap Halimah di sela ia menangis. “Dan ibu meminta maaf untuk anak-anakku, maaf ibu belum bisa menjadi ibu yang yang baik untuk kalian, ibu meninggalkan kalian pada saat kalian masih bayi.” Lanjut Halimah sambil menatap kedua anaknya itu. Lalu si Kembar memeluk Halimah dan berkata “Tidak apa ibu. Ibu melakukan ini juga untuk kebaikan kita, kita bisa sekolah karena ibu dan kakek sudah bekerja keras.” Hamilah hanya terseyum mendengar penjelasan si Kembar dan Halimah kembali menatap nisan sang ayah, “Ayah tolong maafkan Halimah. Halimah berjanji akan merawat si Kembar dengan baik seperti ayah merawat mereka.” Akhirnya Halimah dan si Kembar pulang ke rumah sederhana milik almarhum sang ayah dan mengadakan doa bersama untuk ketenangan sang ayah.
Komentar
Posting Komentar