URGENSI TATA KRAMA DI ERA GLOBALISASI
Karya: Faisal Hendrawan Dwi Janarko
Secara etimologis tata krama berasal dari bahasa jawa, terbentuk dari kata tata dan krama, yaitu aturan yang merujuk kepada konsepsi unggah-ungguh, memuat adat istiadat yang berelevansi pada interaksi sosial sesama manusia dilingkungan sehingga membentuk hubungan yang harmonis. Eksistensi dan implementasi tata krama dapat menstimulasi lahirnya usage, folksway, mores dan custom dilingkup sendi kehidupan masyarakat. Hal tersebut juga akan menstimulasi lahirnya tata nilai norma yang berkelanjutan secara terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Proses penamaan konsepsi dalam sendi kehidupan terjadi melalui mekanisme sosialisasi baik dalam eskalasi keluarga maupun lingkungan masyarakat. Unggah ungguh pada dasarnya memiliki representatif substantif dengan nilai hormat, yaitu merupakan sifat atau sikap seseorang dalam berbicara, bertindak maupun membawa diri dalam rangka menunjukan sikap apresiatif kepada orang lain, sesuai proporsisi dan kedudukannya. Dengan kata lain, stratifikasi sosisal dalam disiplin sosiologi berupa prestise dan privilage tetap dijaga dan diimplementasikan guna menjunjung tradisi serta adiluhung masyarakat jawa. Pada dasarnya, praktik nilai hormat pada masyarakat jawa dijadikan sebagai tolak ukur status sosial akibat perspektif serta berimplikasi terhadap norma kesopanan yang diaktualisasikan masing-masing individu.
Tata krama dalam kepribadian masyarakat jawa merupakan sebuah tatanan regulatif yang turun temurun serta terus mengalami perkembangan sesuai dengan konstelasi zaman guna membentuk progresivitas dan harmonisasi dalam masyarakat. Implementasi proses sosialisasi tata nilai norma pada masyarakat jawa pada hakikatnya tidak terpaku pada proses indoktrinasi, tetapi bagaimana mengedukasi dengan memperhatikan makna filosofis. Masyarakat menanamkan pada garis keturunan maupun lingkungan masyarakat sekitarnya jikalau eksistensi dan kodrat manusia mempunyai urgensi menerapkan perangai beradab serta berbudaya. Tradisi dan budaya yang terinternalisasi melalui proses sosialisasi ini sudah seharusnya mendapat perhatian dari seluruh stakeholders dalam rangka menciptakan tatanan masyarakat yang harmonis.
Realitas terkini dalam kehidupan masyarakat merefleksikan bahwa tata norma mulai luntur karena pengaruh proses globalisasi dan westernisasi. Perkembangan teknologi dan era digitalisasi menjadikan lingkup interaksi antar individu menjadi mengekspansi bahkan ke sendi fundamental kehidupan masyarakat, termasuk eksistensi tata nilai dan norma. Latar belakang bangsa indonesia yang memiliki kearifan, kebijaksanaan dan kebiasaan-kebiasaan adiluhung yang dibangun atas tradisi-tradisi luhur yang diwariskan secara turun-temurun oleh para leluhur dari generasi ke generasi berikutnya (local wisdom) serta segi konstruktif yang mendukung budaya untuk membuktikan seberapa kuat dasar-dasar kepribadian budayanya pada saat menghadapi akultrasi budaya (local genius). Dalam rangka memfilterisasi unsur baru yang masuk ke masyarakat faktanya tidak berjalan optimal. Proses akultrasi dan asimilasi dari internal masyarakat tidak dapat diaktualisasikan, karena terjadi perubahan paragdimatis tentang manfaat praktis. Inilah yang menyebabkan manfaat materialisme dan individualisme sehingga tata krama masyarakat terbentur akibat proses degradasi sosial yang terus berkembang. Di sisi lain, globalisasi adalah proses transformasi serta menjadi sebuah keniscayaan dimana negara tidak mengisolasi diri, karena berbahaya bagi cita-cita bangsa dan tujuan nasional yang membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh lingkup global.
Contoh yang paling eksplisit adalah praktik kenakalan remaja yang semakin di tolerir akibat adanya perubahan dasar fundamental, pergaulan anak muda pada era globalisasi sering kali menimbulkan polemik karena mereka tidak mendapatkan sosialisasi yang komprehensif terkait tata krama. Pemuda saat ini memiliki sikap individualisme yang berimplikasi terhadap budi pekerti dan rasa kesopanan yang kurang baik terhadap sesama ataupun terhadap orang yang lebih tua. Tentu ini menjadi sebuah indikator signifkan yang mempresentasikan lunturnya nilai tata krama dalam masyarakat. Dalam lingkup sekolah daring misalnya, kita sering menjumpai beberapa mahasiswa tidak menghargai eksistensi dosen dalam mengajar. Mereka berasumsi bahwa ilmu yang didapat dari pembelajaran tidak sepenuhnya berguna di dunia aktual maupun di lingkungan sekitar kerja nantinya. Kurangnya kesadaran diri peserta didik/mahasiswa bahwa pendidikan merupakan sektor penting dalam pembangunan bangsa membuat pemikirannya tertutup serta tidak menerima konsepsi lain sebagai ilmu. Jika kondisi seperti ini tidak menemukan problem solving-nya, maka hal ini berakibat pada tidak majunya pendidikan di indonesia.
Sistem pendidikan nasional tidak mampu merealisasikan visi, misi, tujuan dan fungsinya apabila tidak ada sinergitas yag sistematis baik dari pemerintah maupun masyarakat. Yang perlu di perhatikan oleh semua stakeholders pendidikan bukan hanya mengakomodasi aspek kognitif semata melainkan juga memperhatikan sisi etis, normatif, termasuk tata krama. Proses sosialisasi tentang urgensi tata krama bagi harmonisasi kehidupan masyarakat harus dimulai dari tingkatan yang paling kecil dan primer, yaitu keluarga. Di sisi lain, proses edukasi nilai tata dan nilai norma juga harus diaktualisasikan sejak dini pada generasi bangsa, supaya nilai tata krama tidak terdegradasi oleh arus globalisasi dan westernisasi yang mengerus aspek fundamental bangsa. Hal ini akan berjalan dengan optimal dan maksimal jikalau seluruh stakeholders mengurangi sikap praktis dan individualisme dalam kehidupan serta mengalihkannya sikapnya ke spirit gotong royong dan menciptakan sinergitas baru dalam rangka mengapai tujuan konsensus yang ada.
Komentar
Posting Komentar