Ketidakadilan dan Kesenjangan antara Tikus Berdasi dan Rakyat Berkaos

 Ketidakadilan dan Kesenjangan antara Tikus Berdasi dan Rakyat Berkaos



Suatu kehidupan pasti tidak terlepas dari yang namanya hukum. Hukum merupakan suatu peraturan berupa norma dan sanksi yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tingkah laku manusia demi menjaga ketertiban, keadilan, dan menghindari terjadinya kekacauan, serta memberikan sanksi bagi orang-orang yang melanggar hukum.  Hukum dapat menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan bahwa setiap masyarakat berhak memperoleh pembelaan di depan hukum. Namun, keadilan dan pembelaan hukum terhadap masyarakat kelas menengah justru tidak didapatkan di Indonesia. 

Negara Indonesia sendiri merupakan negara yang masih banyak terjadi ketidakadilan dan kesenjangan hukum. Fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial (social control) dalam pengimplementasiannya masih banyak disalahgunakan oleh berbagai pihak demi kepentingannya sendiri. Jika diumpamakan, penegakan hukum di Indonesia ini seperti hukum runcing ke atas dan tumpul ke bawah. Hal ini dikarenakan hukum hanya berlaku pada masyarakat kalangan bawah dan tidak berlaku bagi masyarakat kalangan atas. Salah satu bukti nyatanya adalah kasus yang dialami oleh Nenek Asyani. Beliau adalah seorang wanita tua yang berusia 63 tahun. Hanya karena mencuri batang kayu jati, beliau divonis dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider satu hari kurungan. Sedangkan banyak kasus-kasus besar, seperti korupsi yang biasanya dilakukan oleh masyarakat kelas atas justru lolos dari jeratan hukum. 

Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan hukum adalah melemahnya pengamalan nilai-nilai Pancasila di masyarakat, khususnya pada sila ke-5 Pancasila yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bunyi sila ke-5 ini seharusnya menjadi pedoman bahwa seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali harus mendapatkan perlakuan adil dalam berbagai bidang, termasuk salah satunya adalah bidang hukum. Selain itu, faktor lain yang menjadi penyebab adanya kesenjangan hukum adalah kemerosotan moral dan akhlak para penegak hukum Indonesia, tingkat jabatan, praktik nepotisme, ketimpangan dan tumpang tindih pasal-pasal, adanya intervensi penguasa, ketidakpercayaan publik, dan rendahnya kesadaran masyarakat akan hukum. 

Pada masa sekarang ini, masyarakat yang semakin maju dan teknologi yang semakin berkembang justru dimanfaatkan oleh orang-orang untuk melakukan berbagai kecurangan. Banyak orang-orang yang melanggar hukum, salah satunya yang sering terjadi adalah tindak korupsi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana korupsi harus diberantas sebagaimana mestinya. Namun, hukum terhadap kasus korupsi yang terjadi di Indonesia masih banyak terjadi ketimpangan dan kesenjangan hukum, di mana terdapat adanya ketidaksesuaian dalam tuntutan, vonis, atau putusan hukum yang diberikan di tengah masyarakat. 

Beberapa contoh kasus terkait ketidakadilan hukum bagi tindak korupsi: 

Djoko Tjandra

Pada Rabu ini (28/7), Pengadilan Tinggi Jakarta mengabulkan banding dan memberikan potongan hukuman 1 tahun penjara kepada Djoko Tjandra atas kasus penghapusan red notice dan pengurusan fatwa MA yang semula 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun penjara.

Pinangki Sirna Malasari

Mantan Jaksa Pinangki mendapat potongan masa tahanan, semula divonis 10 tahun menjadi 4 tahun dan denda sebesar Rp600 juta dengan subsider enam bulan kurungan. Pinangki menjadi tersangka kasus korupsi pengurusan fatwa bebas Djoko Tjandra di Mahkamah Agung.

Musa Zainuddin

Mantan politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Musa Zainuddin divonis bersalah menerima suap Rp 7 miliar dalam proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukumnya 9 tahun penjara. Namun, MA di tingkat Peninjauan Kembali memangkas hukuman Musa selama tiga tahun, menjadi 6 tahun penjara.

Anas Urbaningrum

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, merupakan terpidana kasus suap Hambalang yang dihukum selama 14 tahun dalam persidangan kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar. Pada akhir September 2020, MA mengabulkan PK yang diusulkan Anas dan potongan hukuman tersebut menjadi 8 tahun penjara

Kasus E-KTP Irman dan Sugiarto

Mahkamah Agung memotong hukuman dua terpidana kasus korupsi KTP elektronik, yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman semula 15 tahun menjadi 12 tahun, dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto semula 15 tahun menjadi 10 tahun. Potongan hukuman ini dikabulkan setelah PK yang diajukan ke MA pada September 2020.

IdrusIdrus Mahram

Mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dihukum bui tiga tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus suap proyek PLTU Riau-1. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukumannya menjadi 5 tahun. Namun, MA di tingkat kasasi memangkas hukuman Idrus menjadi 2 tahun penjara. Kini, Idrus sudah bebas.

Solusi yang dapat diberikan agar tidak terjadi kesenjangan sosial, diantaranya: 

Penguatan moral dan penanaman nilai-nilai Pancasila

Penguatan nilai-nilai demokrasi 

Pembenahan struktural mengenai aliansi jabatan bagi pengadilan agar lebih kredibel dan terpercaya

Pembentukan UU yang lebih tegas, jelas, dan seimbang tanpa ada intervensi dari pihak manapun

Peningkatan sanksi sosial bagi para koruptor agar tidak dapat lagi duduk di bangku parlemen 

Kasus ini mengingatkan pada kutipan dari Thomas Jefferson, salah seorang bapak pendiri Amerika Serikat pernah menyebutkan, bahwa "Ketika ketidakadilan menjadi hukum, perlawanan menjadi kewajiban". 

Sumber: 

hukumku.com

compasiana.com

Komentar