RUMAH
Karya: Diah Wahyu Lestari
Jantungku serasa berhenti berdetak, saat kulihat barisan nisan berjejer di depan mataku, yang lebih mengagetkan lagi, di atas salah satu makam, ada boneka tedy bear yang biasa kubawa ketika pergi.
***
Dua hari yang lalu aku sampai di tempat ini, untuk ikut dengan ayah yang sedang mengerjakan sebuah proyek pekerjaan. Aku sebenarnya tidak terlalu tahu tentang tugas dan pekerjaan ayah di sini. Selama ini ayah hanya menyisakan waktu beberapa hari di rumah, dan lebih sering menghabiskan beberapa minggu waktunya untuk pekerjaan.
Bagi anak usia tanggung sepertiku, kehadiran keluarga masih sangat diperlukan. Aku telah genap 15 tahun pada tanggal 5, bulan lalu. Tapi, pertambahan umur bagiku hanyalah soal angka. Aku dibesarkan dengan kesibukan-kesibukan orang tuaku. Mamaku adalah sekretaris di salah satu perusahaan ternama. Papaku, aku tak begitu mengerti apa pekerjaannya. Aku hanya tahu dia jarang pulang ke rumah.
Aku lebih dekat dengan teman-temanku yang konyol dibanding dengan orang tua yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Kau tahulah, orang tua macam itu sudah bisa kau tebak, mereka yang hanya sibuk dengan urusan kerjanya, dan asal pulang bawa uang.
Namun itu tak berpengaruh pada tingkah lakuku. Maksudku, aku tetap bisa menjadi anak baik dan penurut, tanpa tergoda untuk melakukan hal-hal negatif seperti anak-anak yang “ditinggal” orang tuanya.
Senang juga rasanya bisa keluar dari penatnya kota yang penuh macet dan polusi. Baru kali ini ayah mengajakku ke tempat seperti ini.
”Mengisi waktu liiburan” katanya.
Pohon-pohon rindang yang menyejukkan mata.
“Tempat yang adem”, gumamku.
Sebuah perkampungan yang tampak asri. Berdekatan dengan hutan yang masih hijau. Meski agak mengerikan bagiku, karena suasananya yang sepi, namun tempat ini cukup nyaman untuk ditinggali. Hanya ada beberapa rumah di sini.
Pagi ini, aku terbangun dengan perasaan yang tidak seperti biasanya. Lebih cerah, dan tenang. Aku sedang bersiap untuk mandi, ketika kulihat dari balik jendela kamar, ayah berbincang dengan lelaki yang Aku rasa adalah rekan kerjanya. Seperti biasa, aku tak begitu peduli urusan apa yang mereka bahas.
Setelah selesai beberes, aku berjalan keluar untuk berkeliling ke sekitar rumah yang kami tinggali. Tak banyak kutemukan rumah di sekitar sini. Hanya ada beberapa lahan kosong yang masih tersisa potongan-potongan hasil penebangan kayu.
Sedikit miris bagiku, pohon-pohon yang tumbuh tegak ini ditebang begitu saja, dan bisa jadi hanya untuk memuaskan kepentingan pribadi.
Ketika sedang termenung, kusadari sepasang mata sedang mengawasiku dari balik pohon. Agak merinding juga berjalan sendirian di tengah hutan seperti ini.
Setelah benar-benar kupastikan, baru kutahu yang sedari tadi mengikutiku adalah seorang gadis kecil berkuncir kuda dengan mata bulat dan wajah polosnya. Kuterka usianya sekitar tujuh tahunan. Kudekati dan Ku ulurkan tanganku padanya untuk mengajak bersalaman. Dia menerimanya dan mengeluarkan senyuman manisnya.
Beberapa menit berlalu dengan perbincangan kami meski aku yang lebih banyak bertanya dan bercerita, Ku tanyakan nama dan tempat tinggalnya. Namanya Ayu. Lengkapnya Ayu Rastanti, di kampung ini dia dilahirkan sampai sebesar ini.
Aku tak sempat bertanya di mana letak rumahnya karena panggilan ayah lebih dulu memecah perbincangan kami. Dia menyuruhku kembali untuk sarapan.
Aku mengajak Ayu untuk ikut sarapan juga, tapi dia menolak. Akhirnya aku harus berpisah dengan Ayu meski baru bertemu sebentar, setelah sebelumnya kami sempat berjanji untuk bertemu lagi di tempat ini keesokan harinya.
Aku sudah menyiapkan hadiah kecil untuk Ayu, sebuah boneka kecil tedy bear yang sering kubawa ketika aku pergi. Dia pasti akan sangat senang, pikirku.
Kami menghabiskan waktu seharian untuk mengelilingi hutan, mengenali tanaman-tanaman yang baru pertama kali kutemui di sini, menikmati keindahan pemandangannya. Suara burung-burung kecil terasa merdu di telingaku. Ayu juga senang dengan hadiah yang aku bawakan.
Ku pikir Ayu sungguh beruntung tinggal di tempat seperti ini. Tidak terganggu polusi dan kejadian kriminal seperti di kota. Dia bercerita bahwa dia sangat mencintai rumahnya, dan hutan ini.
Ketika hari mulai gelap, kami bersiap untuk kembali ke tempat masing-masing. Sempat kutawarkan kepada Ayu untuk menginap di tempatku saja, agar aku tak kesepian, tapi lagi-lagi dia menolak.
Namun aku cukup senang bisa bertemu dan bermain dengan Ayu. Dia memelukku erat sebelum kami berpisah, sambil mengucap terima kasih dan berkata dia amat senang bertemu denganku. Sebagai anak tunggal aku juga amat bahagia bertemu dengan Ayu, terasa seperti punya adik baru. Aku berharap pertemuan kami tidak hanya sampai di sini.
Paginya, ketika sudah kuselesaikan sarapan, dan hendak menemui Ayu, aku dikagetkan dengan kedatangan beberapa pria berseragam polisi. Mereka mencari lelaki atas nama Cahyo Nugroho
Dahiku berkerut, kaget. Itu nama ayahku. Mereka membawa ayah atas tuduhan penebangan hutan secara ilegal. Aku kaget dan bingung, sejak kapan ayah melakukannya, dan perasaan menyesal atas masa bodohku selama ini.
Kuharap, ayah bukan orang yang melakukan hal seperti itu. Beruntung ada seorang wanita muda yang bekerja dan membantu tugas rumah di sini. Namanya Dina, katanya dia memang sering melihat tamu sejenis ayahku, biasanya mereka akan berkumpul melaksanakan rapat, dan hal serupa.
Aku benar-benar tak menyangka dan menyangkal kejadian ini. Papaku tak mungkin seperti itu kan? Selama ini rasanya keluarga kami baik-baik saja meski jarang komunikasi.
Masih dalam keadaan bingung, televisi yang menyala di depan kami tiba-tiba menyiarkan berita yang hampir membuatku pingsan. Nama papaku disebut sebagai tersangka utama dalam kasus penebangan hutan secara ilegal, dan nama lainnya aku tak tahu, yang terdengar di telingaku hanya nama mama di sana. Masuk dalam daftar tersangka lainnya, yang itu artinya bahwa mama terlibat dalam kerja sama ini.
Rasanya aku benar-benar limbung. Sedih, bingung, marah, jadi satu. Entah berapa lama aku termenung, tidak tahu harus berbuat apa. Aku bangkit dengan perasaan sakit, kepalaku seakan ingin meledak, punggungku seakan mau runtuh, dan kaki tanganku seakan ingin terlepas dan berjatuhan di lantai. Meski demikian, aku mampu berdiri dan melangkah dengan tegap. Aku berjalan keluar menuju halaman, mencari udara segar dan menenangkan pikiranku.
Lalu aku teringat dengan Ayu. Ingin kutumpahkan segala kesedihanku padanya. Kutanya pada Dina, apa dia kenal gadis kecil bernama Ayu, dan di mana letak rumahnya.
Aku jelaskan padanya bahwa dua hari yang lalu aku pertama kali bertemu dengannya, saling berbincang, dan bermain bersama.
Dina kaget dan heran dengan pertanyaanku. Dahinya berkerut, seperti tak percaya. Tidak ada jawaban dari Dina, hanya sorot matanya yang menampakkan keheranan.
Ku pikir Dina tak peduli dengan pertanyaanku semalam tentang Ayu, karena tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Hanya, setelah itu dia mengajakku untuk berjalan-jalan. Aku tak begitu tahu ke mana tujuannya, Dina hanya mengatakan akan menjelaskan sesuatu.
Sesampainya di tempat tujuan kami ketika pikiranku belum benar-benar pulih atas kejadian penangkapan ayah. Aku kembali dikagetkan dengan cerita Dina dan tempat yang ada di hadapanku sekarang.
Aku tak begitu mendengarkan penjelasan, bahwa telah terjadi longsor, dan beberapa rumah warga tertimbun tanah, menewaskan beberapa diantaranya. Belum jelas siapa pelakunya. Sudah sejak lama hutan ini direncanakan akan digusur, ditebangi kayunya, dan direncanakan untuk pembangunan komplek perumahan.
Dan yang membuatku kaget, makam ini sudah ada sejak seminggu yang lalu, sebelum aku sempat sampai di tempat ini. Aku baru tahu keberadaan makam ini setelah Dina mengajakku.
Aku masih tegak berdiri, tapi pandanganku buyar. Di sana, di salah satu makam yang masih baru itu, boneka tedy bear sedang duduk manis di atas salah satu nisan, dengan tulisan nama “Ayu Rastanti”.
–Tamat–
Komentar
Posting Komentar