Lantaran Himaprodi PBSI: Cerpen 'Suguhan Teater Senja' Karya Upik Setyorini

 

SUGUHAN TEATER SENJA

Karya: Upik Setyorini

[Sebuah kesaksian alam oleh senja]

 

[Bagian 1]

Bocah-Bocah di Saban Sore 

Suguhan keromantisan bocah-bocah bersama alam adalah sebuah kenikmatan. Menyeburkan diri di kali berkali-kali rasanya tak puas hingga besok datang kembali. Mengaji dengan semangat yang tak henti-henti membuat yang sudah menua semakin iri. Melestarikan dolanan tradisional berwujud petak umpet yang bukan sekedar permainan, yang rasanya hanya pantas bocah-bocah itu lakonkan.  Banyak drama yang mengolah emosi sekelas bocah-bocah sebaya sepermainan. Bak suguhan teater yang merayu senja tetap setia tanpa tergugat oleh malam.

Bocah-bocah itu lucu, menggemaskan. Tangisnya menertawakan. Huhu maafkan.

[saban hari selama senja masih bereksistensi di Dusun Glagah]

Padamu, bocah-bocah mempersembahkan:

Pantang pulang sebelum surau berisik penuh sorai. Sebelum pecinya kau sembunyikan dengan banyak perangai. Sebelum sepedanya diam-diam kau pinjam dan kau pakai.

Pantang pulang sebelum sepuluh hitungan kau lambatkan, mengintip persembunyiannya di balik semak. Sebelum kau dijewer dan menangis karena mamak.

Senandung azan pukul lima belas lebih mengajak bocah-bocah segera beranjak dari lelapnya. Berlari dan mengetuk dari satu lawang ke lawang yang lain. Sudah menjadi kebiasaan hingga mereka tak perlu mengiyakan tawaran yang hanya sebagai basa-basi. Bergegas tanpa pikir panjang. Berlari saling mendahului. Untuk menuju Sungai Bogowonto, terdapat sebuah pasarean yang tanpa takut mereka lewati. 

Hingga akhirnya .... BYURRRR

Pakaian yang masih melekat, basah di tubuh bocah-bocah itu menyeburkan diri. Teriakannya menggema menyusuri ujung-ujung padi di dekat kali. Mereka memang tak mengerti apa definisi kebahagiaan, tetapi mereka sangat merasakan. Alarm guru mengaji di bayang pikiran anak-anak itu berdering seraya memanggilnya untuk mengaji. Mengentaskan tubuhnya dari derasnya arus kali. Melompat dan memijaki setiap batu sembari menghitung dengan teliti.

Anggapnya, mereka sudah mandi meski tanpa sabun maupun pewangi. Tiba di rumah masing-masing, mamak bapaknya mengoyak-oyaknya untuk mengaji. Berdandan dan berganti baju gamis atau koko bersarung pun berpeci. Rapi dan sangat menarik hati. Sebagian diantarkan mamak bapaknya. Bocah-bocah yang lain beranjak sendiri dengan membawa iqro maupun juz 'amma berbatas tuding. Salim dan salam senantiasa tak pernah luput mereka lakukan. Guru mengaji turut menyambut dengan ajakan sholat berjamaah bersama mereka. Sesaat setelah itu, mereka bergilir dan berebut mengaji. Beragam, sebagian masih belajar membaca huruf hijaiyah dengan iqro', hafalan dalam juz 'amma bahkan ada yang sudah mengkhatamkan Al-Qur'an hingga dua kali. Tingkah polahnya tak pernah lepas dari pandangan guru. Sebab orang tua telah memasrahkan anak-anaknya saban sore sepenuhnya pada guru. Suara bocah-bocah itu lantang melafalkan huruf hingga ayat suci Al-Qur'an. Bak keramaian yang begitu menenangkan. 

Setengah lima, rampunglah kegiatan mengaji. Tak cukup sampai di sini hingga mengharuskan bocah-bocah itu kembali pada mamak bapaknya. Namun, mereka justru melepas dan melemparkan sarung-sarungnya. Menanggalkan peci mereka dan ditaruhnya di ranting-ranting.

Petak umpet, jilumpet.

Hompimpa alaium gambreng

Mak Ijah pakai baju rombeng

Barang siapa yang kalah dia yang jadi. Namun, sepertinya siapapun yang paling kecil menjadikannya anak bawang. Mengharuskannya pasang terus-menerus dengan dalih akal-akalan mereka. Dalam hitungan satu sampai sepuluh ia menghadap tembok memejam mata. Memberi kesempatan satu persatu dari mereka untuk menyembunyikan diri. Di balik semak, pohon, tembok, bahkan di atas genting (ada tangga yang memungkinkannya naik). Selepas mata terbuka, suasana sunyi lengang. Cukup pelik mencari di mana persembunyian teman-temannya. Senja semakin ramah. Sepertinya senja terlalu ikut campur tangan perihal persembunyian mereka.

Menangis lirih di pojok mushola. Sandal jepitnya seketika hilang disembunyikan bocah sedemikian isengnya. Hingga mengadu kepada mamak bapaknya. Dijewer kupingnya hingga mendapati kemarahan yang membuat tangisnya semakin lantang. 

"Disuruhnya pulang selepas mengaji, malah bermain-main yang membuatnya menangis seperti ini." Begitulah kiranya teriakan para orang tua.

Kelir alam mulai tertutup, berwarna hitam bercorak bintang-bintang menandakan malam. 

Peci bocah-bocah itu masih saja menggantung di ranting-ranting. Telapak tangannya masih membekas di dinding-dinding. 

Senja terlalu indah meski sederhana dalam melukiskan cerita bocah-bocah di saban sore itu.

 

[Bagian 2]

Kamis, Jalanan Milik Santri

Kali ini, senja menyuguhkan kesaksian lain, berbeda, bukan bocah-bocah saban sore yang bermain peran dalam teaternya. Melainkan....

Berbondong-bondong bersarung dan berpeci. Memenuhi jalan di Kamis milik para santri. Pandangan-pandangannya menunduk, siapapun yang melihatnya malah terkagum  hingga ujung tanduk. Jalanan bukan lagi milik para pekerja, buruh, maupun petani yang menunggangi sepeda onthelnya, merumput sebagai pakan sapi di pekarangan rumahnya. Jalanan sore itu hanyalah milik para santri Pondok Pesantren Al-Anwar Maron, satu-satunya pondok besar di Kabupaten Purworejo. Langkah santri-santri hendaknya memiliki tujuan kepada sebuah pasarean seorang guru besar Pondok Pesantren Al-Anwar. Tekadnya kuat mendoakan. 

Kyai Al-Irsyad. Beliau adalah salah satu tokoh yang juga berperan dalam membawa pohon besar sebagai bahan membuat Bedhug Purworejo, bedhug terbesar di Jawa Tengah. Kini letaknya berada di Masjid Agung Purworejo yang tak jauh dari alun-alun kota.

Beliau adalah tokoh sekaligus guru yang sangat disegani santriwan santriwati. Berdedikasi dalam membagikan ilmu agama semasa hidupnya di pesantren Al-Anwar. Para santri pun kerap mendoakan Almarhum sebagai wujud cinta kasihnya kepada Sang Kyai. 

Kamis menjadi hari yang manis bagi santri. Selain berziarah, mereka juga tak luput dari rasa senangnya sebab dapat melihat lingkungan luar dari pesantren. Tetap beretika sebagaimana yang diajarkan dalam pesantren. Peci-peci hitam kembar setara dan bertuan. Sarung warna-warninya meriuhkan gerak langkah kaki mereka. Pandangannya terkonsentrasi pada tanah-tanah beraspal, yang semakin jauh semakin terjal. Sungguh tak mempedulikan situasi sekelilingnya. 

Cukup jauh jalan yang ditempuh menuju pasarean. Sebaris tiga tiga, memadati jalanan yang mulai menyempit. Tak cukup bagi orang yang berjalan berlawanan. Memang jalan itu sudah punya kuasa. Sementara kau harus berbalik arah mencari jalan lain yang lengang kau rasa.  Senja kala itu tak mengapa. Mengirimkan ratusan santri. Bertanggung jawab meramaikan jalanan sore hari. Senja tak berkutik, lagi-lagi santri mengeluhkan perihal kamu (senja) yang hanya bisa dinikmati di Kamis depan lagi. 

Meradang sepekan lagi. 

Kelir senja akan terbuka kembali di lain Kamis ini, bagimu, para santri. 

 

 

 

Komentar