Dari Balik Jendela
Karya: Tia Wastiana
Neiva duduk termenung di depan meja belajarnya. Kedua bola matanya terarah ke balik jendela yang menampilkan lenggang jalanan belakang rumahnya yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Pikirannya terus berkelana menelusuri segala hal yang terlintas. Dalam sepi, Neiva teringat ibunya yang terakhir kali ia lihat dibawa oleh orang-orang berseragam putih.
“Kenapa ibu dibawa mereka?” tanya Neiva pada Kak Aira saat itu.
“Ibu mau dibawa ke Pak Dokter,” jawab Kak Aira dulu.
Neiva mengangguk saja, meski hatinya tak rela. Di waktu itu juga Neiva, Kak Aira, dan bapak ikut dibawa pergi, tapi tidak pergi ke tempat yang sama dengan ibu. Empat belas hari kemudian mereka kembali ke rumah, ibu tidak ikut kembali ke rumah. Kemana ibu? Kak Aira terus menangis dan bapak juga terlihat begitu sedih. Neiva bertanya, Kak Aira dan bapak hanya menjawab ibu sudah pergi. Neiva sudah berumur sembilan tahun, tentu saja ia sudah cukup mengerti bahwa ibunya sudah tidak ada.
Sejenak Neiva mengalihkan pandangannya ke arah pot kecil berisi tanaman yang tak kunjung ditumbuhi bunga. Ibunya sangat suka menikmati harum bunga, dan Neiva suka keindahannya. Setiap minggu biasanya ibu akan mengajak Neiva dan Kak Aira ke taman bunga dekat taman kota. Di sana mereka bisa bebas menikmati indah dan harum bunga, memetik satu bunga terbaik. Sayang sekali, semua kenangan taman bunga itu ikut pergi bersama kepergian ibu, bersamaan juga dengan tertutupnya kebebasan keramaian. Ibu bahkan tidak bisa mencium harum bunga di saat-saat terakhirnya. Neiva juga tidak pernah bisa menaburkan indah bunga di atas makam ibunya.
Tangan Neiva menyentuh kaca jendela kamarnya yang tertutup. Seperti malam ini, sebelum tidur, dari balik jendela ini Neiva biasa duduk termenung di depan meja belajarnya, memandang lekat langit, awan, bintang-bintang, jalan-jalan lenggang, rumput-rumput liar, dan apapun yang terlihat oleh matanya. Neiva selalu hanyut dalam kesedihan. Ia memimpikan kehidupannya sebelum semua ini terjadi. Sekolah, teman, tempat bermain, indah dan harum bunga, juga ibunya.
Kak Aira memberikan Neiva satu pot tamanan bunga itu, sebagai ganti kenangan taman bunga ibu. “Satu pot tanaman ini tidak akan sebanding dengan indah satu taman bunga, tapi kamu tetap akan merasakan keindahannya jika kamu mau menerimanya,” kata Kak Aira saat memberikannya. Neiva mau menerimanya, ia tahu rumah mereka tak punya cukup lahan untuk membuat taman bunga. Dengan antusias Neiva merawat pot itu, ia tidak sabar untuk menikmati kembali indah bunga, tidak apa hanya satu. Namun berhari-hari, berminggu-minggu, bunga itu tidak juga tumbuh. Beberapa kali tamanan itu hampir mati tanpa tumbuh bunga. Kali ini Neiva menyerah, sepertinya ia tidak akan bisa menikmati indah bunga, seperti ia yang saat ini tidak bisa lagi bertemu ibunya dan menikmati indah dunia luar.
Neiva menutup mulutnya yang menguap lebar. Sudah waktunya ia tidur. Neiva bersiap menutup gorden jendelanya, tapi gerakannya terhenti ketika ia melihat seorang anak laki-laki seusianya di depan jendela kamarnya. Dengan penuh rasa penasaran Neiva membuka jendela kamarnya. Kak Aira selalu melarangnnya membuka pintu di malam hari, tapi ini jendela.
“Siapa? Kenapa di luar?” Neiva bertanya heran.
“Teman. Aku ingin bertemu denganmu.”
Neiva mengerutkan keningnya, ia tak pernah merasa pernah berteman dengan anak laki-laki di depannya ini. "Kenapa kamu tidak pakai masker? Sudah cuci tangan?” Alih Neiva.
“Aku tidak memerlukannya. Kamu sendiri?”
“Aku berada di dalam rumah, virus itu tidak masuk ke dalam rumah. Selama tidak ada yang membawanya.”
“Apa yang kamu mau?”
Neiva menyeritkan dahinya, harusnya ia yang bertanya demikian. Namun di detik berikutnya ia kembali mengarahkan pandangannya ke arah pot tanamannya. “Aku ingin bunga ini tumbuh. Aku ingin bisa kembali menikmati indah bunga,” pintanya sendu.
“Kenapa?”
“Aku ingin kembali merasakan kebahagiaan. Indah bunga akan membantuku.”
Tangan anak itu terulur masuk, menyentuh daun dalam pot tamanan itu. Sebuah bunga tanpa kelopak tumbuh di sana. “Sudah tumbuh.” Anak itu memberitahu.
Neiva setengah termangu. “Tapi tidak ada kelopaknya,” protesnya kemudian.
“Kamu akan menumbuhkannya.”
“Apa aku bisa keluar mencari pupuk?”
“Tidak bisa.”
“Lalu bagaimana aku bisa mendapatkan pupuk untuk menumbuhkannya?”
“Kamu selalu bisa menemukannya.”
Kedua mata Neiva tertutup begitu saja. Seketika ia merasakan tubuhnya menjadi seringan kapas dan melayang keluar melalui jendela kamarnya membawa pot tanamannya yang sudah ditumbuhi bunga tanpa kelopak. Beberapa saat Neiva merasa ia sedang terbang.
“Kita dimana?” tanya Neiva ketika sampai di sebuah tempat yang begitu luas.
“Di rumahmu.”
Neiva menyeritkan dahinya. Setelah ia perhatikan kembali sekelilingnya, ia baru tersadar kalau ini memang di rumahnya, tepatnya di kamarnya sendiri. Neiva menggelengkan kepalanya kuat. Tidak mungkin! Ia yakin tadi ia terbang dan berada di tempat yang begitu luas. Belum usai dari kebingungannya, Neiva kembali dibuat terkejut ketika melihat dirinya sendiri yang tengah duduk, meneladahkan tanggannya yang tertutup mukena. Itu dia yang sedang berdo’a seusai shalat, seperti biasa. Neiva melihatnya seperti ia sedang melihat kartun di televisi.
Neiva merasakan pot tanaman di tangannya seperti bergerak. Kelopak pertama di bunga tumbuh. Neiva ingin bersorak senang, tapi ia justru termangu tak mengerti.
“Kelopak pertama itu untuk kamu yang tidak berputus asa dan selalu mengingat Tuhan, percaya kepada-Nya.” Anak itu memberitahu.
Neiva masih tidak mengerti. Selanjutnya ia justru melihat dirinya sendiri yang membuka buku dan mulai belajar. Selang beberapa saat, Kak Aira datang dan memberikan lembaran kertas ulangan. Hari itu Neiva sedang menjalani Ulangan Akhir Semester. Neiva segera menutup buku catatannya dan mejauhkannya. Kak Aira dan ibu selalu berpesan agar mengerjakan apapun dengan jujur dan bertanggung jawab, tidak curang.
Pot tanaman Neiva seperti bergerak lagi. Kelopak kedua di bunganya tumbuh.
“Kelopak itu untuk kamu yang selalu menjaga integritas, kejujuran, dan prinsip-prinsip terbaik dalam hidup.” Anak itu menjelaskan lagi.
Neiva mengikuti anak itu yang berpindah ke ruang tengah. Neiva bahkan baru menyadari anak itu sudah masuk ke rumahnya. Neiva melihat dirinya yang membantu Kak Aira membersihkan rumah. Lalu melihat Neiva membuka pintu, menemui teman-teman seuisanya yang mengajaknya bermain.
“Kata Kak Aira kita harus tetap berada di rumah. Di luar ada banyak virus-virus jahat. Kita akan menyebarkannya kemana-mana jika berkeliaran keluar.” Neiva menolak tegas.
Dua kelopak bunga Neiva tumbuh.
“Untuk rasa empati, rasa hormat terhadap aturan, menghargai dan peduli terhadap sesama, serta segala kebaikan yang kamu lakukan.”
Neiva sekarang sudah bisa berseru senang. Sebentar lagi ia bisa kembali menikmati indah bunga. Mereka kembali ke kamar Neiva, melihat Neiva yang terus termenung sedih dari balik jendela.
“Satu kelopak lagi.” Neiva memberitahu anak itu.
“Kamu belum menumbuhkannya!” Anak itu tiba-tiba berseru ketus.
“Beri tahu aku apa yang harus aku lakukan,” ucap Neiva tidak sabar.
“Aku bukan jawaban.” Anak itu membalas garang.
“Aku mau bunga ini tumbuh! Aku mau indah bunga!” balas Neiva ikut marah.
“Kamu hanya mau menipu! Indah bunga bisa selalu kamu ciptakan darimana saja!”
*
Suara adzan subuh menggema di telinga Neiva. Udara dingin pagi masuk melalui jendela kamarnya yang terbuka. Menusuk kulit Neiva dan membuatnya mengangkat kepalanya yang tertidur di atas meja belajar. Neiva memegangi lehernya yang terasa pegal, kepalanya juga pusing.
“Seperti biasa, tidak nyata,” gumam Neiva pelan. Fokusnya kini tertuju pada jendela kamar yang terbuka. Pandangannya segera teralih pada pot tanamannya yang tak kunjung ditumbuhi bunga. Ingatannya terus menerawang kejadian tadi malam. Benarkah hanya mimpi?
Kak Aira membuka pintu kamar Neiva, membuyarkan lamunannya. Kak Aira melakukan rutinitasnya yaitu memastikan Neiva tidak telat bangun untuk shalat subuh.
“Tumben sudah duduk di depan jendela, terbuka lagi,” kata Kak Aira heran.
Alih-alih menanggapi ucapan kakaknya, Neiva justru menanyakan hal yang lain. “Kenapa ibu harus pergi lebih dulu, Kak?”
Kak Aira terkejut. Satu tahun sudah berlalu, baru kali ini Neiva menanyakannya. Kak Aira menarik kursi dan duduk di samping Neiva. “Seperti halnya kita, Tuhan juga selalu ingin memetik bunga yang terbaik terlebih dahulu.”
Neiva menggeser pot bunganya ke depan Kak Aira, mencoba memberitahu bahwa bunga di pot itu tak kunjung tumbuh.
Kak Aira mengerti. “Tanaman ini mungkin masih membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa menumbuhkan bunganya kembali, tapi kita selalu bisa menciptakan keindahannya darimana saja. Kita boleh sedih untuk segala sesuatu yang tengah terjadi, tapi kita tidak boleh lupa untuk berterima kasih untuk segala yang masih kita miliki.”
Neiva memperhatikan pot tamanannya. Sesaat ia merasa kelopak bunga terakhirnya tumbuh. Empat kelopak bunga tidak akan lengkap terasa indah jika tidak dilengkapi dengan rasa syukur. Dan satu kelopak yang hilang akan kembali tumbuh jika kita mampu ikhlas, menerimanya dulu dengan pemikiran dan hati yang terbuka. Neiva sudah mengerti dimana keindahan sesungguhnya itu berada. Kesulitan, keburukan, bukan penghalang untuk menemukan hal-hal yang indah. Jika kebahagiaan kita tertahan hanya karena tertutupnya pintu rumah, kita bisa terbang menemukannya melalui jendela.
Dari balik jendela ini, Neiva berjanji tidak akan lagi termenung untuk menghanyutkannya dalam kesedihan. Mulai sekarang, dari balik jendela ini, langit, awan, bintang-bintang, jalan-jalan lenggang, rumput-rumput liar itulah yang akan termenung melihatnya bergerak menemukan banyak hal.
Banyumas, November 2021
(Ditulis untuk menaruh harapan pada anak-anak yang merasa kehilangan kebahagiaan saat pandemi. Semoga mereka selalu bisa menemukan, dan mengerti.)
Biodata singkat :
Wastiana, atau lebih biasa dikenal Tia Wastiana, lahir di Banyumas, 22 Maret 2003. Saat ini ia berstatus sebagai mahasiswa baru dengan program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di salah satu universitas negerti di Jawa Tengah. Ingin mengenalnya lebih jauh bisa follow instagram dan wattpad @tiawastiana_
Komentar
Posting Komentar