AKU BUKAN PEMBOHONG
Karya: Rizqi Eka Pratiwi
Musim kemarau bulan Juni. Hari ini tak akan kulupakan. Teriknya matahari, hampir saja membakar kulitku. Setelan seragam yang menempel dibadanku juga terasa sangat ketat. Sungguh sangat tidak nyaman.
“Menyebalkan!” ucapku dengan nada kesal.
Tak lama setelah itu, tampak seorang gadis melambaikan tangan padaku.
“Hei kemari, kita sekelas lagi!” teriaknya dengan suara melengking.
Aku hanya menatapnya dengan muka datar.
“Wajahnya seperti mayat. Kau kenal dia, Rena?” tanya gadis di sebelahnya.
“Oh.. dia teman sekelasku di SMP.” jawab Rena.
“Hah? Rena? Gadis pendiam itu berubah menjadi seperti ini?” ucapku dalam hati.
Hampir saja tak kukenali, penampilanya sungguh sangat berbeda. Mungkin pergaulan yang mengubahnya.
…
Hari-hari berlalu begitu saja. Tak ada hal atau pun kejadian istimewa yang terjadi. Tapi hari ini suasana kelas tampak lebih tenang dari biasanya.
“Aaaaaa…. kemana perginya? Kemanaaa?” suara tangis Rena tiba-tiba memecah heningnya kelas. Sontak hal ini memicu keributan dalam kelas.
“Apa yang terjadi? Coba jelaskan.” tanya guru sambil mendatangi Rena.
“Cincin emas pemberian ibuku hilang. Kutaruh dalam tas sebelum pelajaran olahraga, lalu sekarang sudah tak ada.” jawabnya sambil tersedu-sedu.
Aku melihat guru itu tampak berwajah mesum ketika memandangi Rena. Dia juga bersikap sok heroik di depannya. Yaa.. dan benar saja, guru itu mulai menggeledah tas murid-murid dan gilanya lagi, dia juga meraba tubuh gadis-gadis itu dengan alasan untuk mencari cincin yang hilang.
Sampailah pada saat giliranku.
“Apa ini milikmu?”, tanya guru itu dengan nada sinis.
“Tunggu! Dari mana datangnya benda itu?”
“Itu milikku! Terima kasih telah menemukannya.” sahut Rena sambil menangis.
Setelah kejadian itu aku dibawa ke ruang guru untuk di introgasi.
“Sial!”
Hari itu juga, orang tuaku dipanggil untuk menghadap kepala sekolah. Keluar dari ruangan sambil tertunduk dan menahan rasa malu, mereka mengatakan padaku untuk pindah dari sekolah ini. Percuma saja kujelaskan bahwa aku tidak mencurinya.
“Aku juga tak ingin lulus dari sekolah gila ini.” ucapku spontan.
“Plak!” sebuah tamparan keras tepat mendarat dipipiku.
Saat itu aku tak dapat berekspresi dan hanya bisa menampakkan tatapan kosong.
…
Hari pertamaku di sekolah yang baru. Sudah kuputuskan, aku tak akan berteman dengan siapapun. Semua orang di sekolah ini tampak tidak peduli satu sama lain. Saat jam istirahat makan siang, aku selalu pergi ke atap sekolah. Ya… karena aku suka sendirian dan memang tak punya teman.
Klip…klip...
Hai, apa kau tidak bosan sendirian?
Klip…klip…
Aku ingin beteman denganmu. Bisakah kita berteman?
“Jarang sekali aku mendapat pesan. Pasti hanya anak-anak iseng yang ingin menjailiku.”, ucapku sambil mengunyah makanan.
Klip…klip…
Aku sungguh ingin berteman denganmu, siapa namamu?
“Haaa…? Aku bahkan tak mengenalmu.”, jawabku kesal.
Orang ini bersih keras ingin berteman denganku dengan mengirim banyak pesan.
Ding! Dong! Bel sekolah berbunyi, menandakan waktu istirahat telah berakhir.
…
Klip…klip…
Apa kau tidak merasa bosan?
Pesan itu hanya kubaca dan tidak kupedulikan, tapi dia mengirimnya berulang kali. Karena sekarang aku sedang bosan, mungkin tidak ada salahnya jika kubalas, iya.
Klip…klip…
Akhirnya kau membalas pesanku. >…<
Apa yang sedang kau lakukan?
“Tidak ada.” Balasku.
Klip…klip…
Apa kau akan ikut memeriahkan acara pekan olahraga?
“Mungkin tidak. Itu sangat melelahkan.” Balasku.
Tanpa terasa, hampir setiap hari aku berkirim pesan dengannya. Dia orang yang banyak cerita. Setiap hari selalu memberiku cerita-cerita yang lucu dan menghibur.
Ding! Dong! Bel istirahat telah berbunyi.
Klip…klip…
Hei, apa kau tau? Hari ini aku salah mengenakan sepatu ketika berangkat ke sekolah. Aaaah… sangat memalukan, karena itu aku harus pulang dan mengganti sepatuku. Aku tak ingin ditertawakan seharian!! >…<
“Pfft…”
Dia benar-benar lucu. Memangnya dia tidak melihat sepatunya terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah.
…
Tampak semua mata sedang menatap ke arahku. Mereka melihatku seperti terheran-heran. Sepertinya tidak ada yang salah denganku. Aku hanya tertawa kecil.
“Hei! Apa kau barusan menahan tawa? Suaranya sangat lucu.” kata seseorang di samping tempat dudukku.
“Hmm… ya! Maaf jika mengganggumu.” jawabku dengan nada datar.
“Oh tentu saja tidak. Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya seperti antusias.
“Hanya membalas pesan seseorang.” jawabku lagi.
“Hahaha… sepertinya kalian teman dekat, kulihat setiap hari kau hanya bermain dengan ponselmu, ajaklah temanmu itu bermain juga. Jika tak keberatan kau juga boleh bergabung denganku dan teman-teman yang lain.” jelasnya.
“Oh iya kau murid baru itu ya, aku lupa namamu. Namaku Dinda, salam kenal. Ah gawat! Aku harus ke kantin. Sudah dulu ya, daaah…” jelasnya lagi dengan terburu-buru.
…
Ding! Dong! Bel sekolah berbunyi, menandakan waktu istirahat telah berakhir.
“Hei! Apa kau masih berkirim pesan dengannya?” tanya Dinda.
“Hmm… iya” jawanku.
“Aku penasaran seperti apa orang yang berkirim pesan denganmu. Dia laki-laki atau perempuan?” tanyanya sambil mendekat denganku.
“Entah, aku tak tahu. Dia duluan yang mengirim pesan padaku.”
Sejak saat itu, Dinda mulai mendekatiku. Dia mengobrol denganku hampir setiap hari. Bahkan dia juga mengajakku pulang bersama tema-temannya.
“Hari ini mau pulang denganku?” tanya Dinda dengan nada mencurigakan.
“Boleh, tapi setelah aku piket.” jawabku
“Oh tentu saja, kau bisa meninggalkan barang-barangmu disini. Aku akan menjaganya sembari kau membersihkan koridor kelas.”
Ku balas dengan senyum tipis dan pergi untuk melakukan tugas piket. Aku merasa ada yang aneh, tapi tak kupedulikan. Mungkin itu hanya perasaanku saja.
Klip…klip…
Tentu saja.
Aku bingung setelah membaca pesan tersebut. Kurasa tadi aku tidak mengirimi dia pesan. Itu karena aku tidak sempat membuka ponselku.
…
Keesokan harinya, Dinda nampak aneh. Ia tak mengajakku mengobrol seperti biasa. Ia juga terlihat lebih diam kepada semua orang.
Ding! Dong! Bel istirahat telah berbunyi.
Aku melihat Dinda keluar kelas dengan terburu-buru. Aku pergi ke atap seperti biasa untuk mencari ketenangan sembari menghabiskan bekal. Setelah bel istirahat berbunyi, aku bergegas kembali ke kelas dan betapa terkejutnya aku. Dinda tampak sedang kesal dan marah dihadapan teman-temannya.
Saat kulewati tempat duduknya, dengan sedikit rasa takut aku bertanya, “Kenapa kau tampak kesal?”
“PEMBOHONG!” jawabnya dengan nada keras. Dinda mendekatiku perlahan.
“Teman yang berkirim pesan denganmu itu tak nyata, iya kan? Dasar gadis gila.” bisiknya ditelingaku.
…
Hari-hari berlalu sejak saat itu, orang-orang nampak memelototiku dari sesampainya aku di sekolah hingga berada di dalam kelas. Tak sedikit pula yang membicarakanku dengan suara yang keras, seaolah aku tak ada. Mereka sering melempariku dengan bola kertas. Saat kembali ke kelas pun banyak sampah diatas mejaku. Semakin hari semakin parah, bahkan alat peraga di kelas melayang dan mendarat mengenai punggungku. Hal itu menyebabkan memar dan rasa sakit hingga membuatku tak ingin berangkat sekolah lagi. Beberapa goresan juga meninggalkan bekas luka.
Suatu saat Dinda datang menghampiriku. Dia menyeret paksa aku untuk ikut dengannya ke balkon gedung baru yang sedang direnovasi. Disana kami bertengkar hebat. Teman-teman Dinda tampak hanya melihat dari kejauhan.
“Hentikan pertengakan kalian!” teriak seseorang yang tiba-tiba datang.
“Hentikan atau aku akan memanggil guru untuk datang kemari!” ancam anak itu.
“Jess? Ke-kenapa kau bisa ada disini?” Dinda tampak kaget.
“Hentikan Din! Aku tidak datang untukmu seperti saat itu. Kau menjebakku iya kan?! Aku datang kemari untuk menghentikan kejahatanmu terhadap gadis itu!” jelas anak yang dipanggis Jess oleh Dinda.
“Jess? Apakah dia orang yang selama ini berkirim pesan denganku?” tanyaku.
“Bukan!! Itu bukan dia!” jawab Dinda dengan ketakutan.
“Benar! Itu aku.” saut anak laki-laki itu sambil menunjukkan ponselnya.
“Tidak Jess! TIDAAAK!” teriak Dinda semakin pecah.
“Jess, dengar.. kau tak seharusnya berteman dengan perembuan gila ini. Lebih baik kau denganku saja.”
“Tidak!” kata jess sambil menggandengku untuk pergi.
“Jess! Aku menyukaimu. Jadi tolong jangan pergi dengannya!” teriak Dinda bercamur tangis.
Saat itu, tanganku yang sedang digenggam oleh Jess tiba-tiba dilepas paksa. Dinda dengan perasaannya yang sedang kacau, secara gelap mata mendorongku ke arah pembatas wilayah berbahaya. Aku yang saat itu sudah tidak berdaya dan hanya bisa pasrah didorongnya. Tubuhku seperti melayang diudara. Setelah itu aku tak ingat apapun selain teriakan Jess.
Komentar
Posting Komentar