Lantaran Himaprodi PBSI : Cerbung ‘ Festival Hari Buma ’ Karya Wastiana

Festival Hari Buma

Karya : Wastiana


Sepasang mata menatap langit malam dari kaca jendela kamarnya. Waktu sudah menunjukan pukul 23.59 tetapi matanya belum juga terserang kantuk. Langit malam kali ini terlihat begitu menarik karena dihiasi ribuan bintang. Ia kemudian menerawang langit lebih jauh. Ia selalu percaya, semestsa tidak hanya diisi dengan hal-hal yang terlihat atau hal-hal yang mampu dijelaskan secara ilmiah. Ada banyak sekali misteri alam semesta yang belum atau mungkin tidak terpecahkan.

Pemilik mata itu kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang tanpa mengalihkan pandangannya. Kaca jendelanya yang ia biarkan terbuka masih memampangkan kegelapan langit malam. Semenit berlalu. Ia mengalihkan pandangannya ke gelang di tangannya. Gelang itu merupakan pemberian dari sahabatnya. Baru siang tadi ia dapatkan. Pancaran cahaya kemudian menerobos masuk lewat jendela. Merambat lurus menyinari tubuh remaja enam belas tahun itu. Kedua matanya sontak tertutup, tak kuasa menerima intensitas cahaya yang berlebih itu.

Perlahan tapi pasti, tubuh remaja lelaki itu terangkat. Melayang keluar dari kamarnya persis seperti film-film kultus yang ia benci. Ia ingin sekali meronta dan berteriak. Tapi mulut dan tubuhnya terkunci. Seberapa kuatpun ia ingin menggerakan tubuhnya, tubuhnya tetap tak bisa digerakan sedikitpun. Tubuhnya terus terbang melayang tinggi, semakin tinggi. Meninggalakan planet dimana biasanya ia berpijak.

***

Salah satu program kerja Organisasi Siswa Intra Sekolah SMA Dharmawangsa adalah menggelar acara tahunan yang biasa dirayakan di seluruh dunia pada tanggal 22 April, dengan tujuan untuk menunjukan dukungan bagi perlindungan lingkungan. 22 April merupakan peringatan Hari Bumi Sedunia. Hari Bumi dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang menjadi tempat tinggal manusia ini. Untuk memperingatinya, SMA Dharmawangsa biasanya mengadakan lomba-lomba sederhana seperti membuat artikel dan puisi tentang lingkungan. Sangat monoton dan membosankan.

Sepasang kaki Lian terus beradu langkah di sepanjang koridor kelas. Warna oranye cerah sudah menghiasi langit di ufuk barat. Memaksa sang pemilik langkah untuk terus mempercepat langkahnya. Hari ini adalah hari terakhir persiapan Ujian Nasional Berbasis Komputer Kelas XII, seharusnya Lian pulang awal untuk menyambut liburannya. Karena mulai Senin sekolah hanya bisa diisi oleh siswa-siswi kelas XII dan bapak/ibu guru yang bertugas.

Sayangnya nasib baik itu tidak diperuntukkan untuknya. Lian adalah pengurus OSIS, sepulang sekolah tadi ia harus melakukan rapat koordinasi untuk program kerja acara peringatan hari bumi. Belum lagi, baru-baru ini sekolahnya baru saja menyandang gelar sekolah adiwiyata. Mau tidak mau OSIS periode tahun ini harus menggelar acara yang lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya.

Teman-teman satu organisasi Lian sudah pulang dari setengah jam yang lalu, Lian pulang paling akhir karena ia tadi mengemas beberapa berkas yang harus ia kerjakan selama liburan nanti. Lian merupakan ketua panitia untuk acara ini, jadi wajar saja kalau dia menjadi orang yang paling super sibuk. Baginya, menjadi seorang ketua pantia adalah kesiapan untuk menjadi orang yang paling banyak mengerahkan waktu, tenaga, dan pikiran, bukan sebaliknya.

Sebenarnya kalau boleh jujur Lian sendiri benci sekali dengan proker ini. Menurutnya untuk apa susah-susah menggelar acara semacam ini, buang-buang dana saja. Lebih baik digunakan untuk pembangunan atau hal lain yang lebih bermanfaat. Tapi saat ia mengatakan hal demikian di rapat tadi, langsung disambut dengan berbagai penolakan keras.

“Punya otak jangan untuk memberat-beratkan kepala saja. Kita ini setiap saat setiap waktu menapak di bumi. Bisa-bisanya menanyakan untuk apa acara ini. Jangan jadi orang yang tidak tahu diri. Buat malu saja!” omel salah satu temannya yang terkenal frontal. Lian masih ingat bagaimana ekspresi teman-temannya yang juga tak sependapat dengannya. Tanpa sadar Lian mengepalkan tangannya kaut. Sangat menyebalkan! Terlalu banyak pencitraan, begitu kiranya.

Lian terus berjalan tanpa tengok sana-sini. Langkahnya semakin cepat selaras dengan degupan jantungnya, perasaannya memang tengah kurang baik. Mungkin ia terlalu banyak beban. Gerbang sekolah hanya tinggal beberapa langkah lagi, Lian setengah berlari sekarang. Ia sudah tidak sabar untuk keluar sekolah. Langkah Lian terhenti tepat selangkah sebelum gerbang. Ia baru ingat bahwa ia meninggalakan ponselnya di meja depan ruang Osis. Lian mendengus kasar, mau tak mau dia harus berbalik dan kembali masuk ke bangunan sekolah.

Bangunan-bangunan sekolah tentunya akan terlihat horor ketika menjelang waktu maghrib seperti sekarang ini. Lian bersyukur karena letak ruang Osis masih termasuk bagian depan. Jadi ia tidak perlu melewati gerbang tengah sekolah yang saat jam-jam seperti ini akan terlihat jauh lebih horor. Namun walaupun ruang Osis ini masih termasuk bagian depan sekolah, bukan berarti lantas membuat jarak ruang Osis dan gerbang sekolah menjadi dekat. Jarak antara ruang Osis dan gerbang sekolah tetap saja membutuhkan waktu sekitar lima menit.

Lian mengembuskan nafas lega ketika pintu ruang Osis sudah terlihat oleh matanya. Dengan segera ia mengambil ponselnya yang tertinggal di meja depan ruangan. Untung saja tidak tertinggal di dalam, kalau iya ia harus susah-susah lagi membuka kunci pintunya. Setelah memastikan benar tidak ada barang yang tertinggal, Lian mengecek ponselnya sekejap. Ada pesan masuk dari Sefi, teman satu organisasinya. Lian segera menutup ponselnya dan kembali menuntun langkahnya meninggalkan ruang sekertariat Osis itu. Ah! Urusan Sefi nanti saja. Paling mau nagih planning kegiatan, begitu pikirnya.

Lian berhasil keluar melewati pintu gerbang sekolah saat senja benar-benar telah hilang. Tadi itu Lian bukannya takut, ia hanya tidak berani saja berada di dalam sekolah sebesar itu sendirian dengan suasana seperti ini.

Lian mengerutkan dahinya ketika melihat seseorang berdiri membelakanginya. Lian merasa sangat mengenalnya, perawakannya sama persis seperti dirinya sendiri. Orang itu berdiri cukup jauh dari tempat Lian berdiri. Lian terus memperhatikannya. Lian terlonjak kaget ketika orang yang ia perhatikan itu membalikan badannya.

“Mas Lian!” panggil satpam dari belakang. Lian tersentak kaget sekali lagi. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke orang tadi. Ah, ia sudah tidak ada lagi di sana.

“Liatin apa mas?” tanya satpam itu.

“Bukan apa-apa. Pak satpam kemana saja? Ini saya titip kunci ruang OSIS ya, Pak. Saya pulang duluan.” Lian terus mencoba membuang isi pikirannya.

“Oh iya mas, silakan,” kata satpam itu ramah.

Pak satpam meninggalkan Lian menuju posnya. Sementara itu Lian belum sedikitpun beranjak dari posisinya. Matanya masih mencari sosok itu, tapi nihil! Pandangan Lian kemudian beralih pada langit gelap di atasnya. Ada sesuatu yang bergerak cepat, bercahaya, dan mendekat ke arahnya. Astaga! Lian menyipitkan matanya, silau sekali. Tapi Lian tetap saja tak beranjak dari posisi awalnya. Bukan tidak mau, tapi tidak bisa.

Kaki Lian tidak bisa digerakan sedikitpun. Benda itu semakin mendekat, sangat dekat, hanya butuh beberapa detik lagi untuk sampai dan menghantam tubuh Lian. Kaki Lian tetap saja tidak bisa digerakan. Jantung Lian berdegup sangat kencang. Mulutnya terkunci, Lian tidak bisa berteriak. Benda itu terus mendekat sampai panggilan pak Satpam terdengar di telinganya. Dan semua berubah, gelap.

***

Mata Lian terbuka secara perlahan. Hal yang pertama ia lihat adalah  langit-langit kamarnya. Eh, benarkah ini kamarnya? Tapi kenapa terlihat sedikit berbeda? Lagipun kenapa ia bisa tiba-tiba berada di kamar seperti ini. Bukannya terakhir kali ia sadar itu ia berada di sekolah. Melakukan rapat koordinasi hari bumi yang menyebalkan, berjalan ke gerbang sekolah, kembali masuk untuk mengambil ponselnya yang tertinggal, melihat seseorang yang sama persis dengannya, dan arrghh!

Cahaya itu. Apa yang terjadi dengannya? Apa dia baik-baik saja? Atau yang ia alami barusan itu hanya mimpi?

 “Tok! Tok! Tok!” terdengar suara ketukan pintu kamar Lian. Belum sempat Lian menyahut, pintu kamar sudah terbuka. Menampakan ibunya yang tersenyum manis. Lian memperbaiki posisi duduknya. “Festival Hari Buma besok kamu mau berangkat sama Ayah dan Ibu atau bersama teman-temanmu?” tanya ibu Lian dari depan pintu.

Lian mengerutkan dahinya heran. Memangnya ada ya Festival Hari Buma? Kenapa rasa-rasanya baru pertama kali ini Lian mendengarnya? Lian  tidak menjawab, bibirnya sangat sulit untuk digerakkan, seperti terkunci. Ibunya kembali melanjutkan ucapannya.

“Kalau mau bareng Ibu, bangunnya jangan kesiangan, ya. Kita berangkanya gasik,” lanjut ibu Lian.

Pintu kamar kembali tertutup. Pikiran Lian kini berkelana kemana-mana. Ia kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur, menggulung selimutnya sampai menutup seluruh bagian tubuhnya. Lian merasakan ada sesuatu yang ganjil. Perasaannya kembali tidak enak. Tapi semuaya segera ia tepis kuat-kuat.

Mungkin Lian hanya terlalu lelah sampai bisa berhalusinasi dan melupakan hal-hal penting di sekitanya. Di luar terdengar suara gemuruh, entah apa. Lian malas untuk keluar atau sekedar mengeceknya lewat jendela. Lian justru semakin menenggelamkan kepalanya di bawah selimut.

Pagi hari, sesuai arahan ibunya, Lian bangun tidak terlalu siang. Bahkan jika dibandingkan jadwalnya yang biasa, jam-jam seperti ini masih termasuk sangat gasik dalam kamusnya. Tapi entah apa yang merasukinya, jam tujuh pagi ini menjadi terasa sudah sangat siang. Yang jelas pagi ini mereka– Lian bersama orang tuanya, pergi ke alun-alun kota untuk menghadiri Festival Hari Buma.

Keanehan tadi malam ternyata masih berlanjut sampai dengan pagi ini. Lian merasakan hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Mulai dari ibunya yang menyiapkan sarapan bubur hitam lengket dan ayahnya yang bukan minum kopi melainkan minum minuman berwarna hijau pekat yang bahkan lebih mirip lumpur, dan sekarang nuansa rumah dan lingkungannya terlihat begitu berbeda.

Semua yang terjadi pagi ini benar-benar di luar kelaziaman. Bahkan yang sangat parah dan mungkin yang paling parah adalah langit sekarang berwarna pink. Mugkin bukan langitnya yang berwarna pink, melainkan matahari, awan, atau apaun yang membuat nuansa langit berwarna pink seperti ini. Atau entahlah, apapun itu yang jelas ini semua jelas benar-benar di luar kelaziman.

Kedua kaki Lion sudah berdiri di depan pintu masuk festival itu. Matanya terus menyelusuri segala sisi yang mungkin bisa memberinya informasi, terutama kata “Selamat Hari Buma” yang ada dimana-mana.

SELAMAT HARI BUMA! JAGA BUMA KITA, JAGA DUNIA KITA!

Buma? Bumi? Lian mencoba menghubungkan hal-hal janggal ini.

“Lion!” panggil seseorang dari kejauhan. Oh, baiklah. Jadi ternyata bukan hanya orang tuanya, tapi semua orang di sini memang memanggilnya Lion. Lian membalikan badannya, ia cukup terkejut melihat orang yang memanggil nama lainnya itu.

“Sefi?” gumam Lian.

-Bersambung-


Cerbung Karangan : Wastiana

Instagram : @tiawastiana_

*Kalau mau lanjut bisa komen di bawah ya, Guys! ^^



Komentar