Pesta Pernikahanku
Karya : Dwi Mayesti Fauzi
Namaku Aryo, usiaku 26 tahun dan saat ini berkerja sebagai staff di salah satu bank swasta yang ada di kotaku. Untuk diketahui, aku merantau dalam menempuh pendidikan tinggi sesuai yang sesuai dengan impianku sejak SMP. Nama perguruan tinggi itu seringkali lalu- lalang di telingaku, hal ini membuat aku berupaya sungguh-sungguh agar impianku menempuh pendidikan di kampus itu tercapai. Dari keinginan itulah ambisi untuk terus belajar, berprestasi, mengembangkan minat dan bakat, serta melatih keterampilan begitu membuatku candu. Kurasa, saat itu aku tidak pernah kasihan terhadap diriku sendiri. Aku menempa diriku agar siap mental ketika nantinya menjalani perkuliahan. Sejak saat inilah aku menutup diri dari lingkungan sekitar. Bahkan, tiga sahabat kecilku yang tidak berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan tinggi turut lenyap dari kehidupanku. Saat itu aku tidak peduli, yang terpenting tujuanku tadi dapat tercapai. Menurutku, jika aku berhasil maka kesempatan memiliki kehidupan yang layak dan pekerjaan dengan gaji yang tinggi pada masa depan akan terbuka lebar dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki gelar sarjana. Setelah lulus SMA aku berhasil masuk di perguruan tinggi impianku yang merupakan salah satu Universitas Negeri terbaik di Jawa Timur.
Singkat cerita, aku berhasil lulus dari perguruan tinggi lima tahun yang lalu, aku lulus dengan nilai memuaskan serta mendapat anugerah lulus dengan pujian. Setelah pulang dari rantau, aku kembali ke kampung halamanku di Yogyakarta. Suasananya masih sama meski hampir satu setengah tahun aku tidak pulang ke rumah karena banyak hal yang harus aku tangani di kampus. Sekitar 1 bulan setelah kelulusan, aku mendapatkan informasi bahwa ada bank swasta yang membuka lowongan pekerjaan. Segera aku persiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk mengirimkan lamaran pekerjaan ini. Beberapa hari setelah mengirimkan berkas tersebut, aku mendapatkan surel yang berisi panggilan untuk wawancara keesokan harinya. Tentu saja aku sangat senang mendapatkan pemberitahuan itu.
“Bu, Pak... Aryo kemarin mengajukan berkas lamaran di bank swasta yang ada di kota, doakan ya Pak... Bu… besok jadwal Aryo untuk wawancara.” Aku menyampaikan kepada kedua orangtuaku ketika kami menonton tv.
Ibu berkata “semoga berhasil ya nak… sertakan Allah disetiap langkahmu. Doa ibu senantiasa mengiringimu.” Bapak terlihat senang meskipun hanya mengangguk tatkala ibu berbicara.
“aamiin bu... Aryo masuk kamar dulu mau mempersiapkan keperluan untuk wawancara.” Kataku sembari melangkahkan kaki memasuki kamar.
Keesokan harinya, aku bangun lebih pagi untuk menyambut hari baruku. Aku memakai pakaian khas job seeker yakni kemeja putih dan celana hitam. Aku berhias diri serapi mungkin agar memberikan pandangan baik di depan staff perekrut. Aku datang lebih awal 15 menit sebelum jadwal yang seharusnya. Wawancara berhasil aku jalani dengan lancar karena dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman yang kudapatkan di universitas nyatanya sangat membantuku dalam aspek kemampuan berbicara. Dua hari setelah wawancara, aku kembali mendapatkan surel yang isinya pemeberitahuan bahwa aku lolos dan berhasil mendapatkan kesempatan untuk bekerja di posisi tersebut. Hal ini sungguh merupakan langkah awalku dalam menjalani kehidupan masa depan yang sesungguhnya.
Beberapa bulan setelah aku menjalani pekerjaanku itu, aku bertemu dengan seorang perempuan yang sejak awal pandangan membuatku kagum. Dia merupakan salah satu staff senior yang ada di bank tempatku bekerja. Ia bernama Sekar, usia kami selisih 2 tahun yang ternyata aku lebih tua. Dia merupakan lulusan SMK Akutansi yang mendapatkan kesempatan untuk bekerja di bank ini meski dia tidak menempuh pendidikan tinggi dan tidak memiliki gelar sarjana. Ini menambah poin kekagumanku padanya. Dia pasti memiliki kepribadian dan etos kerja yang tinggi sehingga mampu bertahan di tengah perbedaan strata pendidikan. Aku benar-benar mengaguminya dan berniat untuk menjadikannya kekasih. Aku mencoba mendekatinya, agak sulit memang namun aku tidak menyerah untuk terus mencoba. Hingga akhirnya dia berhasil ku dekati dan kami pun menikmati kedekatan kami. Hingga bulan ke enam kedekatan kami, aku memberanikan diri untuk mengajaknya berpacaran.
Hari demi hari berlalu hingga tiga tahun kemudian aku memberanikan diri untuk melamarnya dan menjadikannya istriku. Kedua keluarga kami telah saling mengenal sejak satu tahun yang lalu sehingga niat baikku ini disambut baik pula oleh keluarga kami. Keluarga kami pun berkumpul untuk memusyawarahkan pelaksanaan pernikahan kami, dari mulai menentukan tanggal pernikahan yang sesuai dengan hitungan Jawa, tempat pernikahan kami, hingga pembentukan panitia yang terdiri dari masyarakat sekitar, serta hal yang lainnya. Dari musyawarah ini didapatkan keputusan bahwa prosesi ijab qobul bertempat di rumah Sekar kemudian resepsi pernikahan dilaksanakan di rumahku sekaligus prosesi ngunduh mantu. Mungkin di antara kalian akan bertanya, mengapa tidak melangsungkan pernikahan di gedung saja dengan membayar wedding organizer agar lebih praktis? Jawabannya adalah karena keluarga kami sangat banyak, yang tentu saja berasal dari berbagai daerah. Menurut orangtua kami, hanya acara-acara tertentulah yang dapat membuat mereka berkumpul bersama di satu titik. Alasan itulah yang membuat pernikahan kami dilaksanakan di rumah dengan panitia masyarakat setempat. Berbagai persiapan telah kami upayakan dalam kurun waktu dua bulan ini demi terlaksananya pesta pernikahan yang akan kami jadikan kenangan seumur hidup ini.
Hari ini, aku telah melangsungkan pernikahan. Aku berhasil menikahi gadis pujaan hati yang kuharap akan menemaniku hingga ujung waktu. Aku berusaha keras untuk dapat mewujudkan pernikahan impian calon istriku. Namun, yang membuatku bersedih dan merasa bersalah pada istriku dan semua orang yang antusias terhadap pernikahanku ini adalah karena tidak adanya panitia yang merupakan masyarakat sekitar rumahku yang mendatangi acara kami sehingga acara kami sangat tidak terorganisasi dan berantakan karena tidak ada yang mengatur. Entah apa yang ada di pikiran istriku dan keluarganya melihat situasi ini, tentu sangat sedih. Beberapa hari berlalu setelah pernikahan kami, ku masih belum menyangka betapa kejam dan menyedihkannya kenyataan hidup ini dan juga belum memahami mengapa mereka enggan untuk mendatangi acara pernikahanku.
Satu pekan berlalu setelah pernikahan berlangsung, istriku membeli sayur yang dijual oleh pedangan yang menjajakan jualannya berkeliling dengan mengendarai sepeda motor atau yang biasa disebut dengan eyek. Sekar membeli beberapa bahan makanan di sana dan tentunya ia tidak sendiri. Ada beberapa ibu-ibu tetangga yang turut serta membeli kebutuhan makanan. Ketika Sekar selesai membayar dan berpamitan dengan ibu-ibu itu, sekar melenggang dengan santun. Namun, baru empat langkah kaki ia beranjak, ia mendengar seorang ibu yang ia ketahui Namanya Bu Yuli, berkata “Itu kan mantunya Bu Muji, yang kemarin pernikahannya suwung.” Sekar sengaja memelankan langkahnya demi mendengarkan lanjutan pembicaraan tersebut. Bu Nik menimpali pernyataan Bu Yuli tadi dengan nada ketusnya, “yo pantes rabine suwung,wong Aryo ora tau srawung” Sekar pun segera melanjutkan langkah menuju rumah agar tidak kembali mendengarkan rumpian mereka.
Malam hari ketika aku sedang bersantai dengan istriku, Sekar menceritakan apa yang ia dengar tadi pagi kepada suaminya. Sekar menyampaikan apa adanya, pernyataan bahwa sepinya pernikahan mereka dari masyarakat setempat disebabkan oleh Aryo yang tidak pernah srawung dengan masyarakat setempat. Banyak sekali ditemukan ungkapan “ora srawung, rabimu suwung” yang maknanya kalau kamu tidak pernah bersosialisasi dengan masyarakat, kemungkinan besar acara pernikahanmu luput dari masyarakat setempat yang selama ini tak pernah disrawungi. Cerita Sekar ini membuatku terdiam dan merenung, banyak hal yang berkecamuk dalam pikiranku. Kemudian aku menyadari satu hal, aku telah menutup diri dari masyarakat sosial sejak duduk di bangku SMP. Keasyikan terhadap ambisi-ambisi remajaku memang telah membuatku sangat enggan bersosialisasi dengan masyarakat setempat, rasanya sia-sia jika harus membuang waktu dan menghabiskannya hanya untuk menongkrong di pos kamling. Ternyata pikiran bodohku sejak remaja sangat mempengaruhi keberlangsungan kehidupan bermasyarakatku dengan lingkungan sekitar. Aku begitu merasa bersalah, karena ulahku lah yang menyebabkan kacaunya pesta pernikahan kami. Aku harus memperbaiki ini karena tidak mungkin aku akan terus berperang dingin dengan para tetanggaku.
Hal itu ku mulai dengan mendatangi rumah pak RT untuk memberitahukan bahwa aku akan mengadakan acara syukuran rumah yang saat ini kami tinggali. Rumah kami terletak 10- meter dari rumah orangtuaku dan masih satu RT. Pak RT bersedia untuk membantu memberitahukan kepada warga se-RT untuk datang di acra rumahku. Di malam itu, aku sungguh merasakan kekaguman dan keharuan ketika orang-orang mulai berdatangan. Aku bertekad untuk terus memperbaiki hubunganku dengan masyarakat tempat tinggalku serta tidak lupa, pada kesempatanku berbicara di acara syukuran itu aku menyampaikan permohonan maaf dari lubuk hati terdalam. Bahwa aku menyadari kesalahan sikapku selama bertahun-tahun ini. Dan, Tuhan Maha Baik. Mereka sangat menerima niat baikku dan menyambut dengan keharuan yang sangat menenangkan hati. Aku memahami bahwa “srawung” yang dalam bahasa Indonesia dapat dimaknai dengan berkumpul dengan sesame warga atau saling tolong menolong, telah menjadi budaya tak benda yang menjadi ciri khas dari suatu kelompok masyarakat. Budaya srawung menjadi tolok ukur tingkat solidaritas, guyub rukun, toleransi dan hal lain yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan bermasyarakat.
Komentar
Posting Komentar