Life Must Go On
Karya: Luluk Anisa Widyawati
Jumat malam, di Rumah Sakit Ayah.
Seonggok kayu bakar masih bertengger disana. Mengeluarkan asap yang mengepul membungkus malam yang dingin. Mendekap hati yang buta akan ilusi. Membodohi diri dengan ego yang tinggi. Terbakar emosi tanpa kendali. Tanpa sadar efek yang akan terjadi. Miris. Sementara, kayu itu masih terus membakar diri. Mengubahnya menjadi abu yang tidak berarti. Berterbangan bagai anai-anai yang tersapu badai. Berhamburan melayang tanpa arah. Sekalipun bertahan, tidak mengubahnya menjadi permata. Hanya sampah di udara!
ےےے
Pintu tua jati itu perlahan-lahan terbuka. Menembuskan cahaya dari luar sana. Menerangi gelap gulita di kandang yang suram. Sementara mataku, masih menerawang jauh ke langit-langit. Kosong. Cahaya yang masukpun mulai meredup tertutup sebuah bayang-bayang. Dipintu itu, tampak seorang paruh baya masuk dengan loyang besar di tangannya. Ia meletakkan loyang itu di atas meja.
“Bagaimana kabarmu hari ini nak?”
Pertanyaan klise. Aku mendengarnya. Tapi, bibirku enggan untuk membuka suara. Mengeluarkan satu katapun seperti mengangkat berton-ton barang. Berat, dan aku hanya diam. Pria paruh baya itu juga tidak menuntut banyak. Ia mengelus rambutku dengan belaian sayangnya. Tak pernah sedikitpun ia berlaku kasar kepadaku. Bahkan sampai saat ini. Dengan kondisi yang tidak sama lagi. Dengan wajah baru yang ternodai. Tapi, aku, tetaplah anaknya.
Tidak lama kemudian, ia melangkahkan kaki jenjangnya keluar. Tersenyum dan menutup pintu rapat-rapat. Kemudian senyap. Tinggallah aku sendiri di kandang ini. Berteman dengan kecoa dan lalat, yang mulai menghabur di atas makananku. Mereka menyerbunya sampai habis tak bersisa. Kubiarkan itu terjadi. Silahkan, aku tidak marah. Hanya saja, sampai terakhir kali pintu itu tertutup, pintu itu tak pernah lagi terbuka. Entah apa yang terjadi di luar sana, aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Lalu, aku kembali pada rutinitasku dua tahun ke belakang, bergumul dengan pikiranku sendiri. Memecahkan misteri di balik kandang ini. Tapi yang kudapat bukanlah solusi. Aku kembali pada ingatanku 15 tahun yang lalu, saat usiaku 5 tahun di sebuah taman kanak-kanak.
“Hay, aku Lolita. Panggil aku Loli.”
“ Hay Loli.”
“Salam kenal teman-teman.”
Singkat cerita, itu awal perkenalanku dengan teman-teman saat menjadi murid baru di TK Al-Bisri Kota Tamagog. Lokasi TK itu berdekatan dengan SD, SMP, dan SMA Al-Bisri karena dikelola oleh satu yayasan yang sama yaitu, Yayasan Al-Bisri. Jarak rumah ke sekolah juga tidak terlalu jauh, sehingga aku hanya diantar sekolah di hari pertama saja. Selepas itu, aku berangkat dan pulang sekolah sendiri. Alasan aku pindah sekolah di sini karena ayah ingin menghabiskan masa tuanya kelak di pedesaan yang sepi dari hingar-bingar kota. Jadi, aku dan ibu juga ikut pindah ke sini.
Keseharianku di sekolah layaknya anak TK pada umumnya. Bermain kesana kemari, merengek karena dijahili teman, dan berebut jajan cilok Mang San. Ah, lucunya, aku sering tidak mendapatkan cilok waktu itu. Alasannya simple, karena tubuhku yang kelewat mungil sehingga ketika berebut antrean, aku selalu berdiri paling belakang. Padahal, harum wangi cilok itu sangat menggoda seleraku.
“Mang, beli 1000 Mang!”
“Aduhh, maap Dek Loli, cilok Mang San habis, besok lagi ya!” ucapnya sambil memperlihatkan deretan gigi gingsulnya.
“Yaahh, habis ya Mang.”
Kuhentakkan kaki ke tanah. Wajahku masam dengan pipi mengembang. Rasanya kesal sekali. Bagaimana tidak? Aku sudah berdiri hampir 20 menit untuk antre. Tapi, seorang anak laki-laki menyerobot jatah terakhirku dan pergi tanpa meminta maaf saat mendapatkannya. Sampai sekarang aku masih ingat wajahnya.
“Ihh menyebalkan, cilok pertama Loli diambil,” ucap Loli kecil dengan mulut cemberut seperti kerucut. Sepanjang perjalanann menuju taman bermainpun, mulutku terus menggerutu. Aku berhenti pada sebuah ayunan berbentuk kapal. Kududukan bokongku di sana. Lalu, mulai mengayun-ayunkan badan kapal sambil melihat riuhnya suasana istirahat siang itu. Tiba-tiba, ada yang datang menyodorkan cilok ke arahku. Tapi, aku sudah tidak berselera lagi. Kubuang mukaku ke arah samping. Ia tidak berkata apa-apa, malah ikut masuk ke ayunan bersamaku.
“Aaaa, buka mulutnya ayook,” ia berbicara layaknya seorang ibu yang ingin menyuapi anaknya. Dia Dasamdanu, murid kelas 6 SD Al-Bisri kalau tidak salah. Memang sejak awal, ia selalu memperhatikanku. Namun, Loli kecil tidak merasakan hal yang aneh pada gerak-geriknya. Dimulai dari situ, aku berkawan dengannya. Suatu hari, ditempat aku berdiri sekarang, ia bertanya,
“Loli, kamu pasti suka permen ya?”
“Tidak, kata ibu makan permen dapat membuat gigi berlubang.”
“Aaa masa, coba lihat gigimu”, ia mulai mendekat, dan sesuatu terjadi.
Gelap, tiba-tiba duniaku gelap. Ingatanku seperti labirin kosong ditengah hutan. Gila untuk mencari jalan keluar. Semakin aku mencoba masuk, semakin aku terjebak dalam ingatan yang membusuk. Baunya semakin menggerogoti seluruh tubuhku.
“Hwarg bangsat!” umpatku frustasi. Tubuhku luruh ditembok kumuh ini. Kupeluk lututku erat-erat. Pilu. Hampir-hampir suara pilu itu tak bisa kudengar. Seperti ada yang membekap mulutku. “Tidak! Kurasa aku sudah gila. Tidak ada orang disini. Dimana ayah? Ayah, ayah, ayah dimana?” kali kedua aku melepaskan suara indahku selepas kejadian itu. Tapi, pintu jati itu tidak berderit. Kukeraskan lagi suaraku. Namun, tetap saja tidak ada jawaban dari luar sana. Lalu, kuberanikan diri untuk melangkah menuju daun pintu. Kepegang slot emas yang mulai memudar warnanya itu. Kakiku gemetar. Seperti apa dunia di luar kandang ini? Apakah jika aku keluar ia akan menodaiku lagi? Sepintas pikiran bodoh itu datang. Kuurungkan niatku untuk keluar. Tapi, rumah terasa begitu sunyi. Hanya bunyi nafasku yang terdengar. Lalu, aku memutuskan untuk keluar. Baru setengah daun pintu terbuka. Kulihat, sepeda kecilku masih terparkir disudut taman yang biasa dulu kami gunakan untuk minum teh di sore hari. Tidak ada perubahan yang terjadi. Semua barang-barang masih bertengger pada tempatnya seperti 15 tahun yang lalu.
Tiba-tiba, pintu yang berjarak dua meter di depan kandang ini berderit. Aku bersiap untuk menutup pintu lagi. Tapi, aku mendengar suara berat ayah memanggil namaku. Sementara, aku masih berdiri terpaku di depan pintu, tidak paham dengan kondisi yang sedang terjadi. Kemudian, aku melihat pria paruh baya itu keluar dari kamar, kurasa itu bukan kamar ayah. Dulu itu merupakan kamar tamu, tapi entahlah. Aku mulai fokus dengan apa yang sedang ayah pegang. Kruk berkaki empat. Aku mengernyitkan dahiku.
“Tidak apa, perkembangan orang tua memang seperti ini.” Ia tersenyum menjawab keherananku. Baru satu langkah ia berjalan, tubuhnya sempoyongan dan pingsan. Sontak aku terkejut dan menghampiri ayah. Aku berusaha untuk menggoncang-goncangkan tubuhnya, tapi tidak ada reaksi apapun. Aku panik dan tidak tahu harus membawa ayah kemana. Kalaupun ke rumah sakit, aku tidak tahu jalannya. Aku tidak pernah sekalipun keluar dari kandang busuk itu. Ah, aku tidak sudi menyebutnya kamar. Lebih cocok kusebut kandang.
Tanpa sengaja, aku teringat apa yang dibicarakan Bu Neno saat belajar dulu, nomor ambulan. Segera aku kembali ke kandang untuk mencari catatan nomor itu dan menelponnya. Tidak lama setelah itu, ambulan datang membawa ayah ke rumah sakit. Tanpa berpikir panjang lagi, aku ikut menemani ayah.
ےےے
Mobil ambulan berhenti tepat di depan ruang tanggap darurat. Disana, sudah terdapat petugas yang siap siaga untuk membawa ayah menggunakan brankar. Ketika ayah sedang diperiksa, seorang perawat menyuruhku untuk duduk di ruang tunggu.
Aku mulai menyapu seisi ruangan ini dengan mata saksama. Sekarang, dunia terasa asing di mata Lolita Andriyani, nama lengkapku. Hampir 15 tahun lamanya aku hidup sebagai pribadi yang asosial. Tanpa berinteraksi dengan siapapun, termasuk ke orang tuaku dan guru privatku. Ya, aku sekolah. Hanya saja, selepas kejadian bersama Dasamdanu itu, ayah dan ibu memutuskan untuk memberikan pendidikan dengan cara homescholling. Aku juga menjalani terapi psikologi. Tetapi, tidak membuahkan hasil. Karena aku hanya baik-baik saja ketika diperiksa, tidak ketika sendiri. Aneh, lebih anehnya lagi, kamarku tetap di sudut ruangan itu. Dokter yang menyarankan aku untuk tidak pindah dari kandang busuk tempat Dasamdanu menodai Lolita kecil. Katanya, untuk mengobati traumatik orang, orang itulah yang harus menghapus tempat-tempat busuk itu menjadi tempat yang indah. Entahlah, itu teori dari mana, aku tidak mempercayainya, tetapi, sebagian orang ada yang percaya dengan itu. Bahkan, ada yang siap mental untuk kembali berinteraksi dengan pelaku, seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Walaupun begitu, memaafkan memang terasa mudah untuk terucap, tapi tidak untuk melupakan hal yang sudah terjadi. Kenangan itu akan tetap ada dalam memori kita. Walaupun sebegitu pintar kita menyimpannya, ia akan keluar kapanpun ia mau. Karena kita bukan pengendali atas ingatan kita. Kita bukan pengendali atas diri kita.
Terlahir kembali mungkin itu pilihannya, juga pilihanku, menjadi manusia baru dengan rutinitas baru. Mungkin tidak akan sesempurna manusia pada umumnya, karena aku adalah Lolita. Menjadi manusia yang asosial sepertinya malah membelengguku. Awalnya aku berpikir, dengan sendiri mungkin hidupku akan aman-aman saja. Terbebas dari pelaku pedofilia. Tapi, ternyata tidak. Sendiri membuatku frustasi. Mengabaikan orang yang aku sayangi. Sekarang, aku hanya bisa melihat ayahku terbujur kaku disana dengan selang yang menempel disekujur tubuhnya. Berjuang sendiri dengan Loli yang masih belum bisa mandiri.
-Selesai-
Komentar
Posting Komentar