Lampu Kota
Karya : Adelina Fathiya
Tiiiiiinnnnn tiiiiiiiinnn!!!!
Suara klakson memenuhi sepanjang pemberhentian lampu merah. Mobil-mobil bergerak lambat. Motor-motor menyalip nekat diantara kendaraan besar tanpa sekat. Satu dua orang masih tampak berlalu lalang menawarkan dagangannya meski langit sudah mulai gelap. Pemandangan yang tak asing lagi di tanah ibu kota.
Sementara aku, memandang hiruk pikuk kehidupan lampu merah dibalik kendaraan roda empat yang sedari tadi masih tak bergerak.
"Kak, enak ya jadi kak muti" celetuk si bungsu yang mulai bosan dengan suasana saat itu.
"Enak kenapa hid?" Balasku mengalihkan perhatian sejenak dari pemandangan malam.
"Iya enak. Udah pinter, cantik, jago ngomong, terkenal, punya banyak teman, menginspirasi deh pokoknya. Ayah aja sampai bela belain setiap tahun datang ke acaranya kak muti. Mana setiap tahun macet parah kayak gini lagi. Untungnya ini udah malem, kalau siang pasti panas banget" keluhnya dengan raut wajah masam.
"Kamu sebenernya kesel sama macetnya apa sama kak muti.." tanyaku meledek.
"Yaaa enggak. Maksudnya tuh kak muti itu se hebat itu sampai semua orang suka sama dia.
Sementara aku adiknya malah 180 derajat bedanya. Udah jelek, nggak pinter, bakat nggak ada,ngomong di depan umum gugup. Kayak, kok bisa sih kehidupan yang baik selalu berpihak ke
dia?"
Aku tersenyum menanggapi keluhannya.
"Kamu lihat deh lampu kota itu. Cantik, bervariasi, cahayanya sangat terang, membuat kota menjadi indah dalam pandangan. Tapi ada banyak tempat-tempat terpencil disekitarnya yang tidak dapat terjangkau oleh cahaya dari lampu kota. Di gang-gang kecil, kolong jembatan yang sempit, gubuk-gubuk rapuh. Lalu bagaimana mereka mendapatkan cahaya? Tentu dari lampu-lampu kecil diujung gang, nyala lilin yang tak begitu terang. Tentu harus ada cahaya baru yang dihadirkan di tempat-tempat terpencil yang tak terjangkau lampu kota"
Hida masih menatapku penuh serius, menunggu kalimatku selanjutnya.
"Kak muti itu ibarat lampu kota. Dia bercahaya sangat terang di tengah keramaian. Memberikan banyak inspirasi, membuat orang terkagum kagum melihat kehebatannya. Sedangkan kamu, kamu adalah cahaya lampu kecil diujung gang, cahaya lilin dibalik gubuk rapuh dan kolong jembatan yang sempit. Kamu itu seorang pendengar yang baik hida. Walaupun kamu nggak bisa berprestasi sebanyak kak muti, nggak punya banyak teman, tapi kamu tetap bisa berguna bagi beberapa orang. Kamu memberikan waktumu untuk mendengar curhatan temanmu yang tak pernah punya rumah untuk berpulang, kamu memberikan sebotol air minum kepada pedagang pinggir jalan yang kelelahan. Kamu memberikan cahaya pada gang sempit yang bahkan lampu kota tidak bisa menggapainya."
"Bayangkan saja jika di gang-gang sempit itu tidak ada cahaya lampu sedikitpun yang meneranginya, pasti sangat gelap dan menyeramkan bukan. Akhirnya tempat itu akan rawan menjadi ladang kejahatan. Sama seperti pedagang yang kamu beri minuman, teman yang kamu beri telinga untuk mendengarkan. Siapa yang tau jika tanpa kamu beri mereka punya niatanjahat karena merasa tidak ada yang peduli." lanjutku.
Hida mengangguk angguk tanda mengerti. Mengalihkan pandangannya ke bawah. Merenungiperkataanku barusan.
"Nggak semua orang harus jadi lampu kota hid" aku menepuk pundak hida. Ia menoleh ke arahku.
"Semua orang bisa bercahaya di tempat yang berbeda. Jika semua orang ingin jadi lampu kota lantas siapa yang akan menerangi gang sempit yang gelap gulita? Kamu tetap punya tempat untuk menjadi berguna meski tak banyak pasang mata yang melihatnya. Kamu akan tetap bercahaya jika kamu mau bercahaya. Jadi jangan pikir kamu tidak bisa apa-apa" aku menutup kalimatku dengan senyuman. Menatap wajah seseorang di sampingku itu dengan tatapan dalam penuh makna.
"Bener juga sih kak.. aku terlalu fokus untuk tampil hebat, bukan jadi bermanfaat" ujar hida.
Percakapan kami terhenti sampai disitu. Aku dan hida mengalihkan pandangan ke arah jendela mobil, kembali terhanyut pada pikiran masing-masing. Entah apa yang ada di benak hida setelahnya. Aku kembali menatap lampu kota. Tersenyum mengingat memori lama, bahwa seseorang pernah mengatakan hal yang sama kepadaku seperti kalimatku pada hida malam itu. Ketika itu aku belum menyadari cahayaku. Cahaya yang awalnya kupikir takkan pernah menyala, hanya karena aku tak sama seperti mereka yang bisa berjalan dengan kaki sempurna.
Komentar
Posting Komentar