MALAM DINGIN
Karya : Fidel dan Ganda
Malam itu cukup dingin dari malam biasanya. Aku dan Ibu duduk berdampingan sambil melihat jalanan depan rumah yang kosong. Kami beberapa kali bertukar pandang, sesekali mengalihkan pandangan dengan melihat handphone masing-masing. Sudah tujuh belas tahun aku hidup bersamanya, tapi aku masih merasa asing jika berada di dekatnya.
Kami tak bisa saling menjangkau hati, aku menarik diri darinya, sedangkan beliau hanya tak tahu harus berkata apa kepada anaknya. Semakin bertambah umurku, aku semakin diam. Semakin bertambah umurnya, ia tak lagi dapat bicara santai padaku. Ini kali pertama sejak tahun lalu kami duduk berdua.
Entah apa yang membuat kami berakhir disini, tetapi suasana disekitar kami cukup canggung. Tidak seperti Ibu teman-temanku yang supel dan cerewet, Ibuku cukup diam. Sebenarnya Ibu tidak diam jika ada diluar rumah, tetapi di dalam rumah ia menjadi dingin. Kadang ia suka bercanda dengan adikku, tetapi menjadi diam jika bersamaku.
“Ibu pensiun umur berapa?” tanyaku. Tiba-tiba aku memikirkan posisiku sebagai anak sulung.
Tahun ini aku baru saja masuk kuliah, baru menginjak umur tujuh belas tahun, aku punya dua adik yang mimpinya juga ingin berkuliah, tak tahu apakah Bapak dan Ibu masih ada. Aku hanya takut tak mampu menjadikan adikku sarjana. Jarak umurku dengan adikku yang dekat membuatku membayangkan bagaimana Ibu dan Bapak harus berjuang lebih menghasilkan uang, dan aku yang harus menopang kehidupan keluarga setelahnya.
Jujur saja, aku tak percaya diri.
“Lima puluh enam.” Ibu menjawab pertanyaanku sambil mendongak menatap langit yang makin lama berubah menjadi hitam. Langit itu terlihat suram tanpa bintang.
“Enam tahun lagi?” tanyaku memastikan. Ia mengangguk.
Tiga tahun lagi adik pertamaku lulus SMA, sedangkan saat itu juga sisa setengah tahun bagiku untuk menyelesaikan kuliahku. Adik pertamaku hobi memasak, mempunyai mimpi untuk menjadi koki, ia ingin sekali masuk jurusan pariwisata. Sedangkan adik keduaku sangat suka mengeksplorasi diri, ia ikut kursus renang, kursus tari tradisional, dan beberapa lainnya. Ia terlihat sungguh bahagia, aku tak akan sampai hati menyuruhnya berhenti.
“Ibu ngga nyangka, sudah setengah abad Ibu hidup. Selama ini Ibu ngapain aja ya? Habis kerja, pulang ke rumah, terus?” Ibu diam sejenak, “Ngga ingat, waktu Ibu banyak dipakai buat kerja.”
Kubiarkan kepala ini tertunduk. Di tanah, kupandangi bayangan menyedihkan dari seorang wanita paruh baya yang hidupnya didedikasikan untuk bekerja demi kehidupan ketiga anaknya. Aku sejenak merasa takut, takut pemilik bayangan tersebut hilang, takut memikirkan bagaimana hidupku tanpanya.
“Kamu udah besar aja. Kapan besarnya? Rasanya baru kemarin kamu nangis-nangis kalo Ibu tinggal kerja.” Lagi-lagi Ibu tertawa kecil.
Aku mengangkat kepalaku, menatap wajah yang dipenuhi keriput penuaan, mata sayunya menyipit seiring senyumnya yang mengembang. Wajah itu tak sanggup kupandangi lama-lama, aku menunduk lagi merasakan genangan air di mataku akan jatuh.
“Rambut Ibu juga cepet banget jadi putih. Perasaan baru kemarin Ibu minta cabutin, sekarang isinya cuma warna putih, kalo aku cabut jadi botak,” ucapku sambil tertawa menutupi rasa sedih yang tak lagi dapat terbendung.
Tetes demi tetes air mataku jatuh membasahi tanah disamping kakiku. Aku hanya terus menggerakkan kakiku, menghapus jejak air mata yang tertinggal di tanah, tak kubiarkan Ibu melihat penampilanku saat ini.
Selama hidup, aku belum melakukan apapun yang kurasa membuatnya bahagia, tak terasa ia sekarang telah menua dan entah kapan dapat pergi begitu saja. Hatiku berkecamuk, kepalaku dipenuhi dengan potongan kejadian masa lalu yang hampir merenggut kehidupan Ibu.
Sejak kecil ibu sakit-sakitan, hidup dari keluarga berlatar belakang miskin. Kemana pun harus mencari uang, terus-terusan mencari beasiswa untuk sekolahnya, terpontang-panting membiayai kehidupannya dan keluarganya. Sudah beberapa kali ia bercerita padaku bahwa ia lelah, ia ingin segera pergi. Namun aku terus-terusan menganggap ia berlebihan., padahal aku tahu ia tak lagi tegar seperti dahulu. Aku hanya tak suka ia bicara seperti itu, hidupku terasa hancur ketika mendengar kata itu.
Bahkan disisa hidupnya, ia masih harus bekerja keras demi ketiga anaknya. Ia wanita independen yang tak ingin anaknya merasakan apa yang ia rasakan. Ia berusaha memenuhi kebutuhan anaknya, mendahulukan kepentingan anaknya daripada dirinya. Tak pernah ia mengeluh terhadap sikap anaknya yang kadang tak tahu diri, yang suka meminta lebih banyak dari yang diberi.
“Maaf ya,” kata Ibu. Aku mengerutkan alisku bertanya-tanya.
“Maafin Ibu, karena Ibu, kamu harus memikirkan banyak hal.” Sepatah kata itu membuat air mataku jatuh lebih deras.
Kami tak pernah saling mendengarkan seperti ini, ia yang begitu keras padaku selalu menyembunyikan tangisnya, aku yang membenci perilaku kerasnya semakin menutup pintu hatiku. Sejak beranjak remaja, aku tak lagi menganggap perkataannya adalah hal yang penting, aku seperti membuat dunia sendiri yang tak ingin dimasukki olehnya karena itu setiap ia mengungkapkan isi hatinya, aku kecewa pada diri sendiri.
“Harusnya Ibu bekerja lebih keras biar kamu bisa kuliah di kampus swasta impian kamu. Harusnya kamu tidak perlu mati-matian belajar untuk mendapatkan kampus negeri karena memikirkan kondisi Ibu dan Bapak yang tak mampu, sekarang kamu berakhir di jurusan yang tidak kamu inginkan.” Aku menggeleng, sedetik kemudian suasana menjadi tenang.
“Maafin Ibu dan Bapak karena memiliki kamu tidak lebih cepat dari suami istri lainnya, sekarang kamu harus mikir gimana adikmu kalo Ibu dan Bapak pensiun.”
Ibu menarik napas panjang dari bayangannya kulihat ia menyeka air matanya. Dadaku sakit mendengar semua perkataannya. Aku tak dapat berkata apapun untuk menenangkannya, aku hanya dapat mengigit bibir bawahku menahan agar isak tangis ini tak terdengar olehnya.
“Ibu seharusnya menjadi Ibu yang lebih, lebih, lebih baik lagi. Maafin Ibu,” ucapnya.
“Jangan menyesal punya Ibu seperti Ibu ya.”
Bunyi Reot dingklik menjadi tanda bahwa Ibu telah pergi dari tempatnya. Dari samping aku mendengar ia lagi-lagi menarik napas panjang dan membuangnya seakan ia membuang semua pikirannya. Ia mengusap rambutku sebelum akhirnya berjalan terpapah masuk ke dalam rumah. Saat itu aku berani mengangkat kepalaku, menatap punggung renta miliknya yang perlahan hilang dibalik pintu.
Setelah semua perjuangan Ibu, Ibu tak pantas mengucapkan kata itu. Bahkan ia tak punya kesalahan, yang harusnya melakukannya adalah aku. Aku hanya kehilangan satu mimpi, sedangkan Ibu pasti kehilangan banyak hal ketika memilikiku.
Aku tak pernah menyesal mempunyai wanita terhebat yang hadir dalam hidupku. Bahkan jika aku punya anak nanti, aku dapat mengatakan dengan bangga bahwa aku ingin menjadi Ibu, seperti Ibu. Nyatanya aku tak dapat mengatakan itu, kata-kata itu hanya tertelan masuk lagi ke dalam tubuhku.
***
Malam itu merupakan malam yang dingin. Aku duduk sendirian terus terisak karena kehilangan dunia, membanjiri tanah disamping kakiku, meremas dadaku yang semakin sesak seiring besarnya gerakan dibahuku. Aku menyesal tak mengucapkannya bahkan sampai saat terakhirmu, Ibu.
Komentar
Posting Komentar