Kado Terakhir Untuk Papa
Karya : Agnesia Amien
Alunan musik itu mengalir begitu indah di telinga penonton, jari-jemarinya memanikan dengan begitu apik dan dengan lihainya menari dari tuts yang satu ke tuts yang lain, sehingga terciptalah permainan piano yang sangat menakjubkan. Pria tampan bak dewa Yunani dengan perawakannya yang gagah, yang duduk di tengah sana, yang dipuja-puja semua yang disana itu adalah Jovian Mazhar.
Tepuk riuh dari penonton mengakhiri pertunjukannya. Selesai unjuk bakat luar biasanya Jovian atau akrab di sebut Vian ini turun dari panggung setelah memberi hormat kepada para penonton.
“GILA, bagus banget ian! emang ya permainan piano lu itu selalu bikin orang berdecak kagum!” ucap Jaffar, sahabat Vian.
Vian tak menggubris omongan sahabatnya, dia hanya menunjukkan wajah dinginnya. Ya, dia memang pintar dalam bermain piano, tetapi entah mengapa sangat payah dalam berekspresi dan juga berbicara, bahkan kepada orang terdekatnya, modelannya sudah seperti kulkas berjalan, begitu yang dikatakan orang-orang.
“IAN! SELAMAT YA SEPERTI BIASA PERTUNJUKAN MU SUKSES BESAR! WAH AKU BENERAN BANGGA PADA SAHABAT KU INI” teriak Ariadne, dengan girangnya.
Yang diajak bicara hanya menjawab dengan dehaman tanpa memperhatikan wajah si gadis. Dia meraih botol air mineral di atas meja yang dibawakan gadis itu, dan meneguknya. Ia langkahkan kakinya keluar tanpa mengatakan sepatah katapun. Kedua sahabat sudah bisa dengan perlakuan Ian yang seperti itu, tetapi tak bisa dipungkiri sebenernya mereka sangat menyangkan sikap Ian yang selalu dingin. Namun, apa mau dikata, mereka sadar betul bahwa hidup pria itu tak seindah melodi yang ia mainkan di dalam pertunjukan.
Ariadne, memandang kepergian pria itu dengan wajah sendu. “Aku kasian deh sama Vian, tapi aku juga gak tau gimana cara buat bantu dia.” Ucap Ariadne.
Jaffar menepuk pundak gadis itu menguatkan, sebagai seorang sahabat tentu mereka tau apa yang dialami pria itu, kehidupannya yang mungkin tak seberuntung yang dilihat.
----
Sebuah motor sport bewarna hitam melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, membelah jalanan ibu kota yang sedang di guyur hujan begitu derasnya. Perasannya lebih membaik ketika dia melakukan hal gila dengan mempertaruhkan nyawanya. Bermain dengan malaikat maut ternyata sudah menjadi kesukaannya, sebelum malaikat itu benar-benar akan menjemputnya.
Motor itu menghentikan lajunya dan berhenti di sebuah rumah mewah dengan desain klasik modern itu, Ian membuka helmnya dan turun dari motornya, berjalam masuk membuka pintu besar bercat putih itu tanpa ada kata permisi atau salam yang ia ucapkan.
Begitu masuk, ia telah disambut seorang pria paruh baya yang sedang duduk tenang di sebuah sofa besar dengan secangkir teh hangat ditangannya, beberapakali pria itu meneguknya. Sadar dengan kehadiran Vian, ia pun menyakan padanya pertanyaan yang mungkin ogah Vian dengar.
“Bagaimana pertunjukan mu hari ini? Sukses ? aku harap tidak ada kata tidak.”lelaki itu membuka suara, yang membuat Vian menoleh kepada Ayahnya.
“Ah ya, satu lagi, ku harap kau tidak membuat kekacauan, aku tidak mau media dan orang-orang tahu bahwa kau bukan Jovani tapi Jovian”, kata pria itu enteng sambil meneguk tehnya.
Perlakuan ini sudah biasa baginya, Ia hanya mengepalkan tangannya menahan amarah dan kekecewaan yang saat ini sukses menguasai dirinya. Ia tak memperdulikan ucapan ayahnya dan memilih pergi menuju kamarnya. Ia membantingkan tubuhnya di ranjang besar nan lembut itu, ia menatap langit-langit kamarnya, perasaannya campur aduk, rasa sakit, letih, kecewa, cape, melebur menjadi satu.
Jovian Mazhar, seorang pria yang harus merelakan mimpinya menjadi atlet renang untuk mengganti mimpi kembarannya, Jovani Mazhar. Yang saat ini terbaring tak berdaya di salah satu rumah sakit ibu kota. Pria itu tersenyum miris, air matanya yang telah di tahannya menetes begitu saja. Ia kemudian mengelap air matanya kasar, ia terduduk sambil memandang foto yang ada di nakas yang terletak di samping ranjangnya. Foto itu adalah sebuah kenangan lama yang begitu indah tetapi juga begitu sakit. Foto itu adalah foto pertama kali ia memegang kejuaraan renang saat ia masih kecil.
Ian mengusap foto itu, seandainya dia dapat memilih jalannya ?, akan menjadi seperti apa ya ?. Namun, Papanya bukanlah orang yang mudah mendengarkan kata orang lain, ia adalah orang yang teguh kepada pendiriannya. Dosa apa yang sebenernya Vian buat pada Papanya itu, sehingga ia ditempatkan kepada situasi seperti saat ini. Baginya kasih sayang papa padanya itu tidak ada, mungkin yang tersisa hanyalah rasa benci yang teramat sangat.
“Twins huh? Seperti dia mengucapkan begitu, tapi kenyataannya ia seperti mempunyai satu anak saja, apakah kehadiran ku ini tak ada artinya? Aku hidup tapi aku merasa aku mati” lirih Vian
Dia meletakkan foto itu, ia menarik sebuah foto lain disampingnya, bergambarkan dua anak laki-laki yang berwajah sama.
“Kapan bakal bangun Van, tidur mulu kagak cape apa?” ucap Ian dengan terus memandang foto itu. Ia sangat merindukan adik kembarnya, lelaki yang bernama Jovani itu adalah satu-satunya orang yang mendukung apapun keinginan Ian.
----
Matahari mulai bersinar terang, sinarnya menerobos masuk lewat jendela kamar Jovian, dan sinar itu mengenai wajahnya. Ia berusaha mengerjapkan matanya menyesuaikan dengan terangnya cahaya yang masuk dalam kamarnya. Ia menatap kearah jam dinding lalu bangkit dan sedikit melakukan peregangan.
“Tok..., Tok...., Tok....”
Vian menatap pintu yang diketuk itu dan segera membukakannya, di depan pintu kamarnya sang papa berdiri dengan pakaian yang sudah sangat rapi, tetapi masih saja wajah itu tetap datar menatapnya.
“Bersiaplah, segera kita kerumah sakit” ucap pria itu dan langsung meninggalkan Vian.
Ia menghela napasnya, suasana paginya sudah terganggu dengan keberadaan papanya. Ia pun buru-buru masuk kamar mandi, dan sesegera mungkin berganti pakaian.
Vian berjalan menuruni tangga rumah, menyusul papanya uang saat ini berada di ruang tamu. Dia melihat papanya sibuk dengan ponsel yang ada di tangannya.
“Ayo”
Hanya sepatah kata itu yang keluar dari mulut Vian. Ya sejak perang dingin terjadi antara keduanya suasana seperti itulah yang sering terjadi. Para asisten rumah tangga sudah terbiasa dengan hal tersebut. Mereka mengetahui perang tersebut dimulai ketika Jovani mulai divonis penyakit jantung yang mengakibatkan dia terkapar tak berdaya di ranjang rumah sakit.
Sepanjang perjalanan tak ada kata apapun yang keluar dari keduanya, mata Vian hanya terfokus pada jalanan yang mereka lewati, menurutnya itu lebih menarik dari pada berbicara dengan papanya. Setiap kali Vian akan menjenguk Vani di rumah sakit, bayangan masa lalu sering mengganggu pikirannya. Ia teringat masa itu..
----
Sepasang anak laki-laki kembar bermain bola di halaman rumah yang luas itu, muka mereka terlihat bahagia, sesekali terdengar mereka terdengar tertawa dengan tingkah satu sama lain.
Jovian Mazhar dan Jovani Mazhar, sejak kecil memiliki sifat yang berbeda. Jovani anak yang berhati hangat, ramah, mudah bergaul dengan orang baru. Berbanding terbalik dengan Jovian yang sulit bergaul, dan pendiam. Walaupun begitu keduanya memiliki keahlian masing-masing. Jovani berbakat di bidang musik, terutama bermain piano. Sedangkan Jovian berbakat di bidang olahraga yaitu renang.
“OPER BOLANYA IAN !!” teriak Jovani dengan begitu girangnya.
Vian menatapnya dan mengangguk mantap, bola itu ditendangnya dengan sekuat tenaga.
“ARKHHH!!!” jerit Vani saat bola itu menghantam dadanya dengan begitu kuat.
“VANI!!!” teriak Jovian.
Vani tergeletak tak sadarkan diri, Vian segera menghampiri kembarannya dan menggoyahkan tubuh Vani.
“PAPA, PAPA....” teriak Jovian sambil menangis.
Papanya yang dipanggil bergegas datang dan menghampiri keduanya, dilihatnya salah seorang anaknya yang kini tak sadarkan diri.
“NAK, VANI..."
"KAMU INI NGAPAIN? KENAPA VANI JADI GINI”, bentaknya kepada Vian.
“Aku gak sengaja nendang bola dan kena dada Vani Pa” Ucap Vian dengan air mata yang terus mengalir.
Mazhar Assegaff, pria itu langsung membawa putranya kerumah sakit. Vian tak berhenti mendoakan keselamatan kembarannya. Setelah beberapa saat dokter memeriksa, dokter mengabarkan kondisi Vian yang masih tergeletak lemas itu.
“Begini pak anda mengalami benturan yang cukup keras dan menyebabkan masalah pada jantung nya sehingga membuat nya kritis. Terlebih dia mengidap penyakit jantung Pak.” Tebak Dokter tersebut.
“Mana mungkin dok, oh anak saya....” kata Mazhar dengan air mata berlinang.
Itulah awal keretakan hubungan mereka, bagi Vian sendiri sampai sekarang masih merasa bersalah walaupun memang ia tak melakukannya dengan sengaja. Vian menatap seorang laki-laki yang tengah terbaring itu dengan tatapan nanar, ingin rasanya Vian mengganti kan posisi adik nya tersebut. Atau mungkin memang ia bisa menggantikannya? Segera ia pergi menuju ruang dokter, saat papanya sedang sibuk dengan Vani.
Pintu berwarna putih itu di ketuk beberap kali.
“Masuk!” jawab seseorang dari dalam.
Segara Vian masuk ke dalam ruangan itu.
“Vian, Ada apa?” tanya dokter tersebut.
“Dok, apa adik saya melakukan transplantasi jantung dia akan sehat seperti dahulu?” tanyanya.
Dokter itu nampak bingunh. “maksudmu?”.
“Jika jantungnya di ganti oleh jantung orang lain yang sehat apakah dia bisa sembuh seperti dulu?” tanya Vian lagi.
“mungkin bisa, namun rumah sakit sedang tidak memiliki stok itu untuk saat ini. Kamu tahu sendiri bukan, susah mencari jantung yang...“
Belum sempat dokter itu menjelaskan, Vian buru-buru memotong “Ambil saja jantung saya dok, saya yakin akan sesuai.”
“kamu jangan bercanda, kamu tau kan apa akibatnya?” Tegur dokter tersebut.
“Saya tidak bercanda, lakukan saja. Dan tolong raahasiakan ini dari papa saya dok” Ucap Vian.
----
Berita itu telah sampai kepada Mazhar, ia dibuat kebingungan dengan kabar tentang adanya pendonor jantung untuk anaknya, baginya ini semacam keajaiban yang datang secara tiba-tiba. Ia tak masalah beberapa banyak uang yang harus ia gunakan untuk kesehatan anaknya.
“Siapa kiranya Malaikat berhati baik itu? Saat nanti Vani sembuh aku akan berterima kasih kepadanya”. Pikirnya.
Operasi akan dilaksanakan dalam tiga hari setelah keputusan dibuat karena banyak yang harus disiapkan. Selama itu pula Mazhar tak melihat anaknya yang satunya, ia tidak ingin ambil pusing, mungkin anak itu menginap di rumah temannya lagi? Baginya itu sudah biasa.
Operasi pun akhirnya dimulai, Mazhar menunggu dengan harap-harap cemas. Sudah beberapa lama ia menunggu, tetapi belum juga dokter keluar dari ruang itu. Ia melihat lampu ruang operasi yang padam, artinya sebentar lagi ia akan mendapatkan kabar dari dokter di dalam. Bibirnya terus merapalkan doa untuk anaknya. Dokter pun keluar dari ruang operasi.
“Bagaimana anak saya dok?” tanyanya.
“Operasi berjalan dengan baik.” Jawab dokter tersebut.
“Terima kasih Ya Tuhan, terimakasih dok”, ucapnya dengan tersenyum
“Jangan kepada saya, berterimakasihlah pada orang yang ada di dalam, ia meminta saya untuk memberikan jantungnya pada Vani, anak itu mungkin anak yang tidak pernah anda anggap, silahkan anda masuk dan lihatlah sendiri.” Ucap Dokter tersebut.
Mazhar yang dibuat kebingungan dengan ucapan dokter ity berlari masuk kedalam ruang operasi. Jika pikirannya ini benar maka.....
Dia berjalan perlahan mendekati ranjang itu, betapa terkejutnya dia ketika melihat siapa orang di samping Vani yang kini menutup matanya dengan tenang.
“VIAN, VIAN..... MAAFKAN PAPA NAK!! AYO BANGUN NAK, JANGAN TINGGALKAN PAPA. PAPA MINTA MAAF NAK, OH TUHAN KEMBALIKAN ANAK KU. AKU MENYESAL TUHAN, DIA ANAK YANG BAIK, TETAPI AKU YANG BEGITU BODOH” teriak Mazhar sambil memeluk Vian.
Vian berhasil menyelamatkan Vani. Namun sangat di sayangkan ketika jantung Vani di pindahkan kepadanya, jantung itu berhenti berdetak.
Bagaimana pun Vian adalah anak yang berbakat, selalu menuruti kemauan papanya termasuk mengantikan Vani menjadi seorang pianis dan menghentikan mimpinya. Namun bagaimana perlakuan papanya kepadanya ? Justru sering memukulnya ketika Vian melakuan kesalahan, dan melakukan hal gila lainnya, seperti tak memberinya makan dan mengurungnya di dalam gudang.
Pria itu menangis sejadi-jadinya, tak pernah terbayangkan olehnya anak yang kini dipeluknya, yang mungkin disalahkannya apa yang menimpa Vani, kini telah mendahuluinya pergi menghadap sang ilahi. Penyesalan pun kini tinggal penyesalan, semuanya sudah tak dapat diulang.
Komentar
Posting Komentar