Bumantara Mala
Karya: Clarissa Dianputri
Sepotong hati yang menyangkal sepi, karam dalam isak kecewa dan tawa luka
Mega mendung pun sakral menghidupkan nestapa tanpa tutur kata
Halnya tak lebih dari abu-abu yang rimbun memeluk atap kotaku
Laraku sesempurna kisah Banowati pun Shinta yang menganyam mala penuh kelu
Selanjutnya, bilur menjadi penanda arah ketika kakiku tersesat melangkah
Setapak dua tapak kupaksa menyambangi lembah-lembah kelam tanpa hujjah
Jiwa pun lebam diamuk denyut-denyut yang kehilangan harsa
Serupa puisi Angkatan 66 yang sajaknya tak pernah rumpang membingkai derita
Ingatkah bentang meter yang tak pernah terasa jauh oleh netra yang mahir memenjarakan potretmu?
Bukankah kepadanya kusabdakan sumpah setiaku dan kubangun rumah percayaku?
Namun nahas, segalanya mengudara dan usang dikendarai waktu menuju pusara
Lantas doa dalam kabut putih mana yang merasuk rindu yang menggigil wahai Batara?
Kau saksikan tubuhku merengkuh bayangmu yang perlahan lekang bersama lajunya roda-roda besar
Lantas berpura-pura tegar mengucap “selamat tinggal” dengan senyum yang perlahan pudar
Dan perlahan aku tenggelam dalam gema suaramu yang bertutur, “Aku selalu ingat kota ini. Bukan dingin yang kukenang, tetapi seutuhnya raga dan jiwamu yang hangat”
Sungguh tiada digdaya yang tak pudar kecuali jerit tangis yang tersaji di setiap iris puisi ini
Komentar
Posting Komentar