Lantaran Himaprodi PBSI : Cerpen ‘ Padang Bulan' Karya Annisa Tiara

 Padang Bulan

Karya : Annisa Tiara

“Yo kanca-kanca dolanan ing njaba.” Suaranya melengking penuh dengan semangat, walau hari sudah hampir habis tapi baranya masih hangat. Suara yang melengking itu, suara milik Kartini. Bocah keriting yang cerewet, kecerewetannya disahkan dengan adanya tahi lalat di dekat bibirnya. Emaknya adalah washbaboe–buruh cuci–di salah satu keluarga Belanda. Sering kali ia tidak tega dengan ibunya yang kurus kering harus bekerja. Andai bapaknya tidak diinjak KNIL. Mungkin hidupnya tidak akan semakin nelangsa begini. 

Bermain di sore hari setelah mencuci tumpukan baju Belanda adalah hiburan paling menyenangkan untuk Kartini. Jika langit sore tampak cerah, teman-temannya akan menunggu Kartini dengan lengkingannya mengajak bermain di lataran rumah. Kadang engklek, kadang gobak sodor, kadang neker, kadang lompat tali, kadang delikan. Jika langit sore tampak mendung, teman-temannya akan tetap menunggu Kartini untuk bermain cublak-cublak suweng, bekel, atau dakonan di dalam rumah. 

Hari ini Kartini bermain lompat tali. Talinya dibuat sendiri oleh Kartini menggunakan karet gelang yang ia curi dari rumah majikannya. Dua buah satu hari. Karetnya disimpul seperti rantai. Cara mainnya sangat mudah. Talinya akan dipegang oleh dua orang yang kalah bermain hompimpah. Liriknya “Hompimpah alaium gambreng, bedo dewe dadi.” Permainannya dimulai dari ular-ularan. Talinya ditempelkan ke tanah kemudian diosak-asik sehingga menyerupai gerakan ular. Kemudian tali dinaikan setinggi mata kaki, dengkul, pusar, dada, telinga, kemudian merdeka –tangan dinaikan ke atas– peraturannya cukup mudah. Hanya perlu melewati tali tersebut tanpa boleh menyentuh. Jika pemain menyentuh tali, maka hukumannya harus menggantikan pemain yang sedang memegang karet.

Riuh tawa mengisi lataran rumahnya. Memamerkan gigi-giginya yang digosok menggunakan arang yang ditumbuk halus karena belum mengenal seperangkat alat gosok gigi. Menikmati indahnya warna langit yang menguning bersama teman-teman sepantarannya. “Anak-anak jongos sedang meromantisasi hidup.” kata Belanda. Tapi biarlah mereka, si anak jongos, menggunting waktunya dengan indah.

Duduk termenung di pinggiran teras. Bocah seumuran Kartini. Badannya sedikit berisi. Bukan karena susu, tapi karena air tajin yang biasa emaknya dapatkan ketika masak nasi. Namanya Warsi. Hari itu, Warsi seperti manusia kehabisan daya. Sangat tidak bersemangat. Matanya sayu penuh dengan lamunan. Setelah diingat-ingat, beberapa hari ini Warsi tidak pernah bermain dengan teman-temannya. 

“WARSI!” Teriak Kartini memecahkan lamunan Warsi.

“Hm?” Sahutnya. Seperti yang sudah diceritakan. Warsi tidak memiliki daya.

“Sudah beberapa hari ini kamu tidak bermain bersama kami, Si. Ayo!” Ajak Kartini.

“Aku mau tidur, Ti.” Jawab Warsi seadanya.

“Loh, Si? Delok kae!” Sambil Kartini menunjuk ke arah langit. “Saiki padhang bulan, loh, Si. Pandhange kaya rina.” Lanjut Kartini. “Rembulane e wes awe-awe ngelingake aja padha turu sore.” 

“Loh, Si. Iso edan kowe. Turu sore-sore.” Sahut teman Kartini yang lain. Saat itu masyarakat Jawa sangat percaya berpegang teguh pada segala pantangan. Mulai dari pantangan tidak boleh duduk di depan pintu, katanya akan menjauhkan jodoh. Pantangan tidak boleh makan dengan kecapan, katanya bibirnya akan suwing. Pantangan tidak boleh menyisakan nasi di piring, katanya nasi sisa tersebut akan menangis. Pantangan yang selanjutnya dipercaya adalah, tidak boleh tidur setelah masuk asar. Katanya bisa gila. Mungkin, gila karena tidak bisa melepas beban-beban selama seharian bekerja. Gila karena tidak menggunakan waktu untuk ngobrol. Gila karena tidak bertemu teman-teman.

Ya. Waktu sore memang biasanya digunakan untuk melepas beban setelah seharian bekerja dengan bersenang-senang. Semua orang akan berkumpul. Tidak hanya anak-anak seperti Kartini saja yang akan berkumpul untuk bermain. Ibu-ibu pun akan berkumpul dengan teman-temannya untuk sekadar bercerita ngalor-ngidul sambil memperhatikan tingkah anaknya ketika bermain. Bapak-bapak pun akan berkumpul membuat kepulan asap sambil bercerita tentang hal yang sedikit lebih berat daripada yang diobrolkan ibu-ibu. Suasana sore hari selalu hidup, jika diisi dengan kumpulan-kumpulan kecil seperti ini.

***

Saat ini kulitku sudah mulai mengendur. Mataku sudah mulai cekung. Suaraku sudah tidak melengking lagi, karena kadang berbicara sedikit tinggi saja aku batuk. Tapi, semangat hidupku masih ada. Sehangat bara.

Hari ini, aku melihat cucuku bermain. Dengan suaranya yang melengking. Persis seperti suaraku dulu. Senang rasanya melihat permainan yang dulu aku mainkan bersama teman-teman masih dimainkan oleh cucu-cucuku. Cucuku merasakan bagaimana senangnya aku waktu itu. Dengan zaman yang akan semakin maju. Apakah permainan ini akan dimainkan cicit-cicitku?

***

Mbah, saat ini anak-anak sudah tidak bermain seperti yang dulu saat kita kecil mainkan. Di zaman ini kita semua sudah mengenal teknologi, Mbah. Teknologi sangat membantu hidup kami saat ini. Banyak permainan yang sekarang sudah mulai didigitalisasikan. Sekarang anak-anak bisa bermain ular tangga dengan praktis menggunakan gawainya. Tapi sejauh ini aku belum menemukan permainan lompat tali yang didigitalisasikan. Aku belum menemukan permainan cublak-cublak suweng yang didigitalisasikan.

Sore ini sedikit sepi. Tidak ada anak-anak yang bermain. Tidak ada ibu-ibu yang bergosip. Tidak ada bapak-bapak yang duduk bersama hanya untuk merokok. Anak-anak sibuk belajar dan bermain dengan gawainya. Ibu-ibu sibuk menonton serial favoritnya. Bapak-bapak sibuk bekerja sampai malam hari. Mungkinkah kita akan gila juga walau kita tidak tidur di sore hari, Mbah?



Komentar

Posting Komentar